Siapa yang tak kenal Kuntilanak? Sosok hantu perempuan berambut panjang acak-acakan, mengenakan daster putih lusuh, dan seringkali dikisahkan meninggal secara tragis atau penasaran. Ia bergentayangan, mencari keadilan atau sekadar menebar teror yang membuat bulu kuduk berdiri.
Penggambaran Kuntilanak sudah sangat melekat di benak masyarakat, tak hanya dari cerita turun-temurun, tapi juga film-film horor yang tak ada habisnya. Namun, tahukah kamu bahwa di balik citra seramnya, ada kisah yang jauh lebih kompleks dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah sebuah kota besar di Indonesia?
Sosok Kuntilanak yang Tak Lekang Oleh Waktu
Kuntilanak adalah ikon horor Indonesia yang tak terbantahkan. Kehadirannya selalu sukses menciptakan atmosfer mencekam, dari bisikan di malam hari hingga penampakan yang membuat jantung berdegup kencang. Ia adalah representasi ketakutan kolektif terhadap hal-hal yang tak kasat mata.
Namun, di balik citra populer ini, ada lapisan sejarah dan budaya yang jarang diungkap. Kisah Kuntilanak bukan sekadar bualan belaka, melainkan cerminan dari pergeseran kepercayaan dan fondasi berdirinya sebuah peradaban. Mari kita telusuri lebih dalam.
Misteri Nama Pontianak: Berawal dari Teror Kuntilanak?
Timo Duile, seorang antropolog dari Departemen Kajian Asia Tenggara di Bonn University, Jerman, mengungkap fakta menarik tentang asal-usul Kuntilanak. Dalam studinya yang berjudul ‘Kuntilanak Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia,’ ia menyoroti hubungan erat antara Kuntilanak dan berdirinya Kota Pontianak. Ini bukan sekadar kebetulan, lho.
Jejak Syarif Abdurrahim dan Tantangan di Delta Kapuas
Kisah bermula pada tahun 1771, ketika seorang bangsawan keturunan Arab bernama Syarif Abdurrahim tiba di sebuah lokasi strategis. Ia mendapatkan lahan di pertemuan sungai-sungai besar dekat delta Sungai Kapuas, sebuah titik vital untuk jalur perdagangan dari pedalaman pulau. Namun, wilayah ini tidaklah sepi dari masalah.
Delta tersebut merupakan markas para perompak yang meresahkan, sehingga Syarif Abdurrahim harus membangun benteng untuk melawan mereka. Selain ancaman perompak, kondisi alam di delta itu juga sangat menantang: berupa rawa-rawa dan hutan lebat yang belum terjamah. Lingkungan yang masih liar dan penuh misteri ini menjadi latar sempurna bagi cerita-cerita mistis.
Tak heran jika ada yang mengklaim nama ‘Pontianak’ berasal dari bahasa Melayu ‘pon ti’ atau pohon tinggi. Pohon-pohon tinggi di hutan lebat memang sering diasosiasikan dengan tempat bersemayamnya arwah atau makhluk halus dalam kepercayaan masyarakat pedesaan Kalimantan Barat. Ini menunjukkan bagaimana alam dan kepercayaan lokal saling terkait erat.
Meriam Pengusir Hantu dan Lahirnya Sebuah Kota
Buku ‘Pontianak heritage dan beberapa yang berciri khas Pontianak’ menguatkan dugaan ini. Buku tersebut menyebutkan bahwa nama Pontianak memang berasal dari hantu Kuntilanak, atau hantu perempuan, yang konon banyak muncul di pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak. Kehadiran hantu ini bukan sekadar mitos, melainkan bagian dari sejarah pendirian kota.
Cerita rakyat mengisahkan rombongan Syarif Abdurrahim yang saat itu melihat banyak gangguan dan mendengar suara-suara menakutkan. Gangguan tersebut dianggap sebagai ulah hantu jahat, yaitu Kuntilanak, yang membuat takut orang-orang di atas perahu mereka. Situasi ini tentu saja menghambat perjalanan dan rencana pembangunan.
Keesokan harinya, karena teror yang tak kunjung reda, mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan sebelum masalah ini terselesaikan. Sebagai upaya pengusiran hantu, Syarif Abdurrahim kemudian menembakkan meriam. Tindakan ini bukan hanya simbol keberanian, tetapi juga sebuah ritual untuk mengusir energi negatif dan mendirikan fondasi yang aman bagi permukiman baru.
Penembakan meriam ini menjadi momen krusial yang mengusir teror Kuntilanak dan membuka jalan bagi pendirian kota. Dari sinilah nama Pontianak lahir, sebuah pengingat abadi akan perjuangan melawan kekuatan gaib dan alam liar. Nama kota ini sendiri menjadi monumen hidup bagi mitos dan sejarah yang tak terpisahkan.
Mengapa Hantu Sering Berwujud Perempuan? Perspektif Monoteisme dan Kepercayaan Lokal
Fenomena hantu yang kerap digambarkan sebagai perempuan, seperti Kuntilanak, ternyata memiliki akar yang lebih dalam. Aktivis perempuan Nadya Karima Melati, dalam tulisannya berjudul Monsterisasi Perempuan dan Monoteisme: Sebuah Perspektif Longue Duree di Jurnal Perempuan, memberikan pandangan yang mencerahkan. Ia menghubungkan hal ini dengan pergeseran kepercayaan di masa silam.
Peran Perempuan sebagai Jembatan Dunia Roh di Masa Lalu
Nadya mengutip pendapat antropolog Jeannette Marie Maego dan Alan Howard dalam buku ‘Spirits in Culture History and Mind’ (1996). Menurut mereka, kehadiran monoteisme tidak sepenuhnya menghilangkan sosok dan relasi masyarakat dengan roh sebagai kepercayaan asli mereka. Sebaliknya, monoteisme mengubah peran roh dalam masyarakat dan menjadikannya monster atau hantu.
Sebelum kehadiran agama monoteis, dalam kepercayaan lokal, roh hidup berdampingan dan saling berkomunikasi dengan manusia. Roh-roh ini tidak selalu jahat; mereka memiliki berbagai sifat, baik, jahat, atau netral, sama seperti manusia. Untuk berkomunikasi dengan dunia roh, dibutuhkan perantara dari dunia manusia.
Perantara tersebut seringkali adalah sosok yang sakti, seperti perempuan, terutama karena kemampuan mereka untuk menstruasi yang dianggap memiliki kekuatan spiritual. Selain itu, ada juga sosok dengan identitas harmonis seperti bissu (rohaniawan dalam kepercayaan Bugis) yang dianggap mampu menjembatani dua dunia. Perempuan memegang peran sentral dan dihormati dalam ritual-ritual spiritual.
Ketika Monoteisme Mengubah Roh Menjadi Monster
Namun, konsep ketuhanan dalam agama monoteisme seperti Islam dan Kristen, menurut Nadya, cenderung "maskulin." Konsep ini menggeser kepercayaan lokal yang berhubungan dengan roh dan alam, yang seringkali bersifat lebih feminin atau netral. Monoteisme menolak adanya sosok spiritual lain selain Tuhan, sehingga entitas-entitas spiritual lokal harus didefinisikan ulang.
Roh-roh yang sebelumnya memiliki posisi setara dengan manusia, bergeser menjadi hantu atau monster yang menakutkan. Sementara itu, dewa-dewi dalam kepercayaan lama diganti menjadi sosok panteon, santa, atau manusia super dalam narasi monoteistik. Ini adalah proses "monsterisasi" yang mengubah persepsi terhadap entitas spiritual.
Tak hanya itu, monoteisme juga ikut menggeser makna upacara-upacara kepercayaan yang menggunakan metode komunikasi dengan roh. Kegiatan yang sebelumnya dianggap sebagai proses transenden atau sakral, kini seringkali direduksi menjadi "kesurupan" atau praktik sihir yang dianggap sesat. Pergeseran ini secara fundamental mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan dunia spiritual.
Stigma Perempuan dalam Narasi Horor Modern
Akibat dari pergeseran ini, peran perempuan yang sebelumnya sebagai perantara roh yang dihormati, kini berubah menjadi dukun atau penyihir yang dicurigai. Mereka dianggap mampu berkomunikasi dan bahkan memerintahkan roh jahat, sehingga seringkali distigmatisasi. Ini adalah konsekuensi langsung dari narasi baru yang diciptakan oleh monoteisme.
Perempuan kemudian dianggap sebagai sosok yang lemah dan mudah dirasuki oleh roh jahat. Atau, yang lebih parah, roh jahat itu sendiri berwujud seperti perempuan. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak hantu dalam folklore kita, termasuk Kuntilanak, digambarkan sebagai perempuan. Mereka menjadi simbol dari kekuatan yang direpresi dan diubah menjadi sesuatu yang menakutkan.
Jadi, Kuntilanak bukan sekadar hantu biasa yang muncul entah dari mana. Ia adalah cerminan kompleks dari sejarah panjang, pergeseran budaya, dan perubahan sistem kepercayaan yang membentuk masyarakat kita. Kisahnya adalah pengingat bahwa di balik setiap mitos, ada kebenaran historis dan sosiologis yang menunggu untuk diungkap.




 
							













