Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) secara blak-blakan menyoroti ketimpangan kebijakan insentif pemerintah. Mereka menilai, subsidi mobil listrik yang digelontorkan saat ini justru hanya dinikmati oleh kalangan atas, sementara masyarakat menengah ke bawah kian terhimpit dalam kesulitan ekonomi. Kritik pedas ini datang di tengah kondisi pasar otomotif yang menunjukkan sinyal-sinyal mengkhawatirkan bagi segmen rakyat.
Ekonomi Kelas Menengah Bawah Tertekan, Penjualan Mobil Entry Level Anjlok
Wakil Presiden Direktur TMMIN, Bob Azam, mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah sedang tidak baik-baik saja. Indikator paling jelas terlihat dari data penjualan mobil yang menunjukkan penurunan signifikan pada segmen entry level. Ini adalah cerminan langsung dari daya beli masyarakat yang sedang lesu.
Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pun menguatkan pernyataan ini. Model-model mobil termurah seperti Low MPV dan LCGC belakangan ini selalu absen dari daftar mobil terlaris bulanan, sebuah fenomena yang jarang terjadi sebelumnya. Bob menjelaskan, pendapatan masyarakat kelas menengah atas memang cenderung stabil, namun yang turun drastis adalah segmen menengah ke bawah.
"Otomotif adalah cerminan ekonomi kita," kata Bob di BSD Tangerang. Ia menambahkan, jika pasar mobil mewah stabil, justru segmen menengah ke bawah yang patut dikasihani karena menjadi tulang punggung konsumsi dan pergerakan ekonomi riil.
Insentif Mobil Listrik: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?
Di tengah kondisi ini, pemerintah justru meluncurkan kebijakan insentif mobil listrik impor yang menuai kritik. Program ini menawarkan pembebasan bea masuk (BM) dari 50 persen menjadi nol persen, serta pembebasan PPnBM dari 15 persen menjadi nol persen. Ini adalah upaya pemerintah untuk mendorong adopsi kendaraan ramah lingkungan di Indonesia.
Artinya, total pajak yang harus dibayarkan untuk mobil listrik impor yang masuk program ini hanya 12 persen, jauh lebih rendah dari seharusnya 77 persen. Ini adalah diskon pajak yang sangat besar, bertujuan untuk menarik investasi dan mempercepat transisi energi di sektor transportasi.
Sejak Februari 2024, sudah ada enam produsen otomotif yang memanfaatkan insentif ini, termasuk BYD, Vinfast, Geely, Xpeng, Aion, Citroen, Maxus, VW, dan GWM Ora. Program insentif ini sendiri akan berakhir pada 31 Desember 2025, memberikan waktu bagi produsen untuk menguji pasar dan membangun ekosistem.
Mobil Mewah Impor Disubsidi, Mobil Rakyat Cari Nafkah Justru Dipajaki Penuh
Namun, Bob Azam menyoroti bahwa pembeli mobil listrik di Indonesia mayoritas berasal dari kalangan ekonomi menengah atas. Mereka umumnya membeli mobil listrik bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan untuk coba-coba, menambah koleksi, atau sekadar meningkatkan status sosial di lingkungan mereka. Tujuan utama mereka lebih ke arah gaya hidup daripada kebutuhan esensial.
Ironisnya, pembeli mobil kelas entry level yang notabene sangat membutuhkan kendaraan untuk menunjang kehidupan sehari-hari justru tidak mendapatkan benefit serupa. Mobil incaran mereka, yang seringkali digunakan untuk mencari nafkah seperti taksi online atau angkutan barang kecil, tetap dibebankan pajak secara penuh oleh pemerintah. Ini menciptakan kesenjangan yang mencolok dalam perlakuan kebijakan.
"Yang model-model LCGC kan kadang-kadang dipakai untuk cari duit dong (taksi online)," tegas Bob. "Tapi harus bayar PPN, harus bayar lain macam-macam. Sedangkan yang model-model yang import, ya EV mereka bisa menikmati." Perbandingan ini menyoroti ketidakadilan yang dirasakan oleh banyak pihak.
Toyota Berharap Pemerintah Evaluasi Ulang Kebijakan
Menurut Bob, situasi ini terasa sangat tidak adil dan menimbulkan ketimpangan sosial yang nyata. Kebijakan pemerintah terkesan hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yang sudah mapan, sementara kelompok yang paling membutuhkan justru terabaikan. Ini bisa memperlebar jurang ekonomi di masyarakat.
Ia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan insentif ini, khususnya untuk mobil-mobil yang memang dipakai oleh rakyat bawah. Kendaraan-kendaraan ini bukan untuk kemewahan, melainkan untuk menopang ekonomi keluarga dan menjadi alat utama dalam mencari nafkah. Subsidi seharusnya bisa lebih tepat sasaran.
Bob Azam menutup pernyataannya dengan harapan agar kebijakan ini bisa diperbaiki ke depan. Ia menekankan pentingnya subsidi yang tepat sasaran, bukan malah menguntungkan mobil mewah impor, agar keadilan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.




 
							













