Puluhan ribu penganut Yahudi ultra-Ortodoks membanjiri jalanan Yerusalem, wilayah yang diduduki Israel, dalam sebuah demonstrasi masif. Mereka menyuarakan penolakan keras terhadap kebijakan wajib militer yang kini diterapkan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pemandangan ribuan pria berpakaian hitam khas Haredi ini menjadi simbol ketegangan baru yang mendera Israel.
Aksi protes ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan manifestasi dari konflik mendalam yang telah lama membayangi masyarakat Israel. Ini adalah pertarungan antara tradisi kuno dan tuntutan modern, antara keyakinan agama dan kebutuhan negara. Polemik ini semakin menambah tekanan pada pemerintahan Netanyahu yang sudah goyah.
Pengecualian Historis yang Kini Terancam
Selama puluhan tahun, Israel dikenal dengan sistem wajib militernya yang sangat ketat, salah satu yang paling komprehensif di dunia. Setiap warga negara, baik pria maupun wanita, diwajibkan untuk mengabdi pada negara setelah mencapai usia tertentu. Namun, ada satu kelompok yang secara historis menikmati pengecualian: komunitas Yahudi ultra-Ortodoks, atau Haredi.
Pengecualian ini didasarkan pada kesepakatan politik dan pemahaman bahwa studi Taurat mereka dianggap sebagai kontribusi spiritual yang sama pentingnya dengan dinas militer. Para pria Haredi diizinkan untuk mendedikasikan hidup mereka sepenuhnya untuk belajar teks-teks suci di yeshiva (sekolah agama), alih-alih bergabung dengan Angkatan Pertahanan Israel (IDF). Kebijakan ini, meski kontroversial, telah menjadi bagian integral dari status quo Israel selama beberapa dekade.
Agresi Gaza dan Perubahan Kebijakan Drastis
Titik balik krusial terjadi setelah agresi brutal Israel ke Jalur Gaza pada Oktober 2023. Konflik yang intens dan berkepanjangan ini menuntut mobilisasi besar-besaran dan memperlihatkan kebutuhan mendesak akan lebih banyak tentara. Di tengah situasi darurat ini, pemerintah Tel Aviv mengambil langkah drastis dengan mencabut aturan pengecualian wajib militer bagi warga Yahudi ultra-Ortodoks.
Keputusan ini memicu gelombang kemarahan di kalangan komunitas Haredi, yang merasa hak-hak mereka diinjak-injak. Mereka berpendapat bahwa studi agama mereka adalah bentuk perlindungan spiritual bagi Israel, bahkan lebih fundamental daripada perlindungan fisik. Namun, bagi sebagian besar masyarakat Israel lainnya, pencabutan pengecualian ini adalah langkah yang adil dan diperlukan.
Mengapa Wajib Militer Menjadi Isu Sensitif bagi Haredi?
Penolakan Haredi terhadap wajib militer berakar pada keyakinan teologis dan budaya yang mendalam. Mereka percaya bahwa misi utama mereka adalah menjaga tradisi Yahudi melalui studi Taurat yang intensif, yang mereka yakini melindungi Israel secara spiritual. Memasuki militer dianggap dapat mengancam gaya hidup religius mereka yang ketat.
Lingkungan militer yang sekuler dan modern dikhawatirkan akan mengikis nilai-nilai tradisional dan ketaatan agama mereka. Ada kekhawatiran serius tentang paparan terhadap budaya yang tidak sesuai dengan ajaran mereka, interaksi dengan wanita yang tidak diatur secara ketat, dan godaan duniawi lainnya. Bagi mereka, menjaga kemurnian spiritual adalah prioritas utama, bahkan di atas tuntutan negara.
Perpecahan Sosial yang Kian Lebar
Isu wajib militer ini telah lama menjadi salah satu sumber perpecahan paling tajam dalam masyarakat Israel. Warga sekuler dan Yahudi Ortodoks modern seringkali merasa tidak adil bahwa mereka harus menanggung beban dinas militer, sementara komunitas Haredi dibebaskan. Mereka melihat ini sebagai bentuk ketidaksetaraan yang merugikan kohesi sosial.
Perasaan ketidakadilan ini semakin diperparah oleh fakta bahwa banyak pria Haredi juga tidak bekerja dan hidup dari tunjangan negara, sementara studi agama mereka tidak diakui sebagai kontribusi ekonomi. Ini menciptakan persepsi bahwa mereka tidak hanya menghindari kewajiban militer tetapi juga tidak berkontribusi secara ekonomi, memicu kemarahan publik yang meluas. Tekanan dari publik umum dan politisi sekuler untuk mengakhiri pengecualian ini telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Dilema Politik Benjamin Netanyahu
Bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, isu wajib militer Haredi adalah sebuah dilema politik yang rumit. Pemerintahannya sangat bergantung pada dukungan partai-partai ultra-Ortodoks untuk mempertahankan mayoritas di Knesset (parlemen Israel). Kehilangan dukungan mereka dapat berarti runtuhnya koalisi dan pemilihan umum baru.
Netanyahu harus menyeimbangkan tuntutan publik yang menginginkan kesetaraan dalam beban militer dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas politiknya. Setiap langkah yang diambilnya berisiko mengasingkan salah satu pihak. Mencabut pengecualian secara penuh akan memicu kemarahan Haredi, sementara mempertahankan pengecualian akan semakin mengikis dukungan dari kelompok sekuler dan memperburuk citra pemerintahannya.
Campur Tangan Mahkamah Agung
Situasi ini semakin diperumit oleh campur tangan Mahkamah Agung Israel. Pengadilan telah berulang kali memutuskan bahwa undang-undang yang memberikan pengecualian massal kepada Haredi adalah diskriminatif dan tidak konstitusional. Mereka telah menetapkan batas waktu bagi pemerintah untuk merumuskan undang-undang baru yang lebih adil.
Tekanan dari Mahkamah Agung ini menempatkan Netanyahu dalam posisi yang sangat sulit. Ia harus menemukan solusi legislatif yang dapat diterima oleh semua pihak, atau setidaknya tidak melanggar putusan pengadilan. Kegagalan untuk melakukannya dapat memicu krisis konstitusional dan semakin memperdalam jurang perpecahan di Israel.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Protes massal di Yerusalem ini hanyalah puncak gunung es dari krisis yang lebih besar. Pemerintah Netanyahu kini berada di persimpangan jalan. Mereka harus memutuskan apakah akan memaksakan wajib militer pada komunitas Haredi, mencari kompromi, atau mencoba menunda keputusan yang tidak populer ini.
Pilihan yang diambil akan memiliki konsekuensi jangka panjang bagi Israel. Ini akan menentukan masa depan hubungan antara agama dan negara, serta kohesi sosial dalam masyarakat yang sudah terfragmentasi. Apakah Israel akan berhasil menemukan keseimbangan antara tradisi dan tuntutan modern, ataukah perpecahan ini akan semakin melebar?
Potensi Eskalasi dan Dampak Jangka Panjang
Jika pemerintah bersikeras untuk memberlakukan wajib militer pada Haredi tanpa kompromi yang berarti, potensi eskalasi protes dan ketegangan sosial sangat tinggi. Komunitas ultra-Ortodoks dikenal memiliki kekuatan mobilisasi yang besar dan tidak ragu untuk menggunakan protes jalanan sebagai alat perjuangan mereka. Hal ini bisa menyebabkan kekacauan dan ketidakstabilan yang lebih luas di seluruh negeri.
Di sisi lain, jika pengecualian terus dipertahankan atau hanya diubah sedikit, kemarahan publik dari kelompok sekuler dan Ortodoks modern akan semakin memuncak. Ini bisa memicu protes balasan dan semakin mengikis legitimasi pemerintah. Konflik ini bukan hanya tentang siapa yang harus mengabdi di militer, tetapi tentang identitas Israel itu sendiri dan bagaimana negara itu mendefinisikan kewarganegaraan dan kewajiban.
Menanti Solusi di Tengah Badai
Saat ini, bola panas ada di tangan pemerintahan Netanyahu. Mereka harus merumuskan undang-undang baru yang tidak hanya memenuhi tuntutan Mahkamah Agung tetapi juga dapat diterima oleh berbagai faksi dalam masyarakat Israel. Ini adalah tugas yang monumental, mengingat dalamnya perbedaan ideologi dan keyakinan yang terlibat.
Masa depan Israel, baik dari segi keamanan, sosial, maupun politik, akan sangat bergantung pada bagaimana krisis wajib militer Haredi ini diselesaikan. Apakah akan ada jalan tengah yang dapat menyatukan berbagai kelompok, ataukah perpecahan ini akan terus menganga, mengancam fondasi negara Yahudi tersebut? Dunia menanti dengan napas tertahan, menyaksikan bagaimana salah satu negara paling kompleks di dunia ini menghadapi tantangan internal terbesarnya.




 
							













