Situasi di Timur Tengah kembali memanas setelah Presiden Lebanon, Joseph Aoun, mengeluarkan instruksi tegas kepada angkatan bersenjata negaranya. Perintah tersebut jelas: hadapi dan lawan agresi Israel yang terus menggempur wilayah selatan Lebanon. Keputusan ini menandai potensi eskalasi konflik yang serius di kawasan tersebut.
Instruksi krusial ini disampaikan Aoun dalam pertemuan penting dengan para komandan militer Lebanon pada Kamis (30/10). Ia menekankan pentingnya militer untuk melindungi kedaulatan negara dan keselamatan warga sipil dari serangan yang tak henti-hentinya. Presiden secara spesifik meminta militer untuk "melawan serangan Israel yang ingin membebaskan Lebanon selatan dan menyelamatkan warga." Ini menandakan eskalasi serius dalam retorika dan potensi tindakan militer dari pihak Lebanon.
Detik-detik Agresi Israel yang Mencekam
Menurut laporan dari National News Agency (NNA) Lebanon, militer Israel secara rutin kembali melancarkan serangan intensif di wilayah selatan. Mereka tidak hanya melancarkan gempuran, tetapi juga secara fisik memasuki desa-desa yang berjarak sekitar satu kilometer dari perbatasan. Kendaraan lapis baja dan tank Israel dilaporkan terlihat bergerak di dalam wilayah Lebanon, menandakan tingkat agresi yang lebih tinggi dari sekadar serangan udara atau artileri. Ini menciptakan ketegangan yang sangat nyata di lapangan.
Salah satu insiden paling mencolok adalah penyerbuan gedung pemerintah kota Blida. Pasukan Israel dilaporkan menyerbu gedung tersebut saat seorang pekerja, Ibrahim Salameh, sedang tidur di dalamnya, bahkan berupaya membunuhnya. Kejadian ini, yang berlangsung selama beberapa jam dan baru berakhir menjelang fajar, memicu gelombang kecaman keras. Ini bukan lagi sekadar serangan militer, melainkan pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan dan keamanan sipil.
Serangan-serangan ini telah berlangsung intensif dalam beberapa hari terakhir, dengan dalih melenyapkan kelompok Hizbullah yang berbasis di Lebanon selatan. Namun, metode dan target serangan Israel kerap kali menimbulkan pertanyaan besar tentang proporsionalitas dan kepatuhan terhadap hukum internasional. Kehadiran pasukan Israel di dalam wilayah Lebanon dengan kendaraan lapis baja menunjukkan peningkatan signifikan dalam tingkat ancaman dan pelanggaran kedaulatan.
Kecaman Keras dari Petinggi Lebanon
Perdana Menteri Lebanon, Nawaf Salam, tidak tinggal diam. Ia mengecam keras tindakan Israel, menyebutnya sebagai "serangan terang-terangan terhadap lembaga dan kedaulatan negara Lebanon." Pernyataan ini menggarisbawahi betapa seriusnya pemerintah Lebanon memandang agresi terbaru ini. Ini bukan hanya insiden perbatasan, melainkan tantangan langsung terhadap integritas nasional.
Kecaman dari PM Salam memperkuat posisi Lebanon yang merasa kedaulatannya terus-menerus dilanggar. Serangan terhadap gedung pemerintahan dan upaya membunuh warga sipil jelas merupakan tindakan yang melampaui batas dan tidak dapat diterima. Hal ini memicu kekhawatiran akan potensi balasan dari pihak Lebanon yang bisa memperburuk situasi.
Gencatan Senjata yang Terus Dilanggar
Perintah perlawanan dari Presiden Aoun dan serangan Israel ini terjadi hanya beberapa bulan setelah pasukan Zionis menyepakati gencatan senjata dengan milisi Hizbullah tahun lalu. Kesepakatan yang seharusnya membawa kedamaian kini terancam hancur total, bahkan bisa dibilang sudah tidak berlaku lagi di lapangan. Ironisnya, Israel berulang kali melanggar gencatan senjata tersebut, terus-menerus menyerang wilayah selatan Lebanon.
Pelanggaran gencatan senjata ini bukan hanya sekadar insiden kecil. Mereka bahkan pernah menggempur pos pasukan penjaga perdamaian PBB (UNIFIL), yang seharusnya menjadi zona netral dan aman. Tindakan ini menunjukkan pengabaian serius terhadap kesepakatan internasional dan kehadiran pasukan penjaga perdamaian yang bertugas menjaga stabilitas. Pelanggaran berulang ini telah mengikis kepercayaan dan memperparah ketegangan yang sudah ada.
Dampak Kemanusiaan yang Memilukan
Konflik yang terus berlanjut ini telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Juru bicara Komisi HAM PBB, Jeremy Laurence, mengungkapkan data yang memilukan. Sejak gencatan senjata disepakati, serangan Israel ke Lebanon telah menyebabkan setidaknya 111 orang tewas. Angka ini menjadi pengingat pahit akan dampak kemanusiaan dari konflik yang tak kunjung usai.
Setiap pelanggaran gencatan senjata bukan hanya soal politik atau strategi militer, tetapi juga nyawa manusia yang melayang, keluarga yang hancur, dan komunitas yang hidup dalam ketakutan. Korban jiwa yang terus bertambah ini menunjukkan urgensi untuk menemukan solusi damai yang langgeng, bukan hanya gencatan senjata yang rapuh dan mudah dilanggar. Situasi ini menuntut perhatian serius dari komunitas internasional untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan melindungi warga sipil yang tidak bersalah.
Dengan perintah langsung dari Presiden Aoun, Lebanon kini berada dalam posisi siaga penuh. Dunia menanti dengan cemas langkah selanjutnya, apakah ini akan menjadi awal dari babak baru konflik terbuka ataukah ada upaya diplomatik yang bisa meredakan ketegangan sebelum semuanya terlambat.




 
							













