Kabar gembira datang dari sektor energi nasional, khususnya untuk Bumi Serambi Mekkah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru saja mengeluarkan kebijakan revolusioner yang memperluas kewenangan Pemerintah Daerah Aceh dalam mengelola sumber daya alam minyak dan gas (migas). Ini bukan sekadar perluasan biasa, melainkan sebuah lompatan besar yang membuka babak baru bagi Aceh.
Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), provinsi paling barat Indonesia ini hanya memiliki hak untuk mengelola migas di wilayah laut di bawah 12 mil dari garis pantainya. Namun, kini cakupan itu diperluas secara signifikan, memungkinkan Aceh ikut serta dalam pengelolaan migas hingga wilayah 200 mil laut. Sebuah perubahan yang tentu saja disambut antusias oleh seluruh elemen di Aceh.
Aceh Punya "Tangan" Lebih Panjang: Dari 12 Mil ke 200 Mil Laut!
Perluasan kewenangan ini tertuang dalam surat resmi bernomor T-465/MG.04/MEM.M/2025. Surat yang ditandatangani langsung oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 23 Oktober 2025 lalu ini ditujukan kepada Gubernur Aceh, menandai dimulainya era baru pengelolaan migas di sana. Ini adalah langkah konkret pemerintah pusat dalam menghormati kekhususan Aceh.
Bayangkan, dari yang tadinya hanya bisa mengelola "halaman depan" lautnya, kini Aceh bisa menjangkau "halaman belakang" yang lebih luas, di mana potensi migas seringkali jauh lebih besar. Perluasan hingga 200 mil laut ini mencakup zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, area yang kaya akan potensi sumber daya alam yang belum sepenuhnya tergali.
Bukan Sekadar Angka, Ini Makna Perluasan Kewenangan Bagi Aceh
Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, M Nasir, di Banda Aceh, Kamis (30/10), mengungkapkan rasa syukurnya. "Alhamdulillah, ini buah dari usaha bersama seluruh elemen Pemerintah Aceh, DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), BPMA (Badan Pengelola Migas Aceh), serta dukungan masyarakat Aceh," ujarnya, seperti dikutip dari Antara. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan ini adalah hasil perjuangan panjang.
Perluasan kewenangan ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah pengakuan atas hak daerah dalam mengelola sumber daya alamnya, sejalan dengan semangat otonomi khusus yang diamanatkan UUPA. Bagi Aceh, ini berarti potensi peningkatan pendapatan daerah yang signifikan, yang pada akhirnya dapat dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Kolaborasi SKK Migas dan BPMA: Bagaimana Mekanismenya?
Kebijakan Menteri ESDM ini merupakan tindak lanjut dari surat Gubernur Aceh pada 11 Maret 2025. Surat tersebut berisi rekomendasi pengelolaan dan pengendalian kegiatan operasi hulu migas di atas 12 mil laut di wilayah kewenangan Aceh. Ini menunjukkan adanya komunikasi dan koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dan daerah.
Dalam suratnya, Menteri Bahlil menegaskan bahwa keikutsertaan Aceh dapat dilakukan melalui kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dengan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Ini adalah model kolaborasi yang strategis, menggabungkan pengalaman dan keahlian nasional dengan pemahaman lokal.
Mekanisme kerja sama ini akan melibatkan tiga bidang utama. Pertama, koordinasi dan penyampaian laporan kegiatan usaha hulu migas secara berkala. Ini memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan eksplorasi dan produksi.
Kedua, keikutsertaan dalam kegiatan kehumasan dan fasilitasi perizinan. Dengan demikian, BPMA akan memiliki peran aktif dalam komunikasi publik terkait proyek migas dan membantu memperlancar proses perizinan di tingkat daerah, yang seringkali menjadi tantangan.
Ketiga, penerimaan salinan persetujuan Plan of Development (PoD). PoD adalah dokumen krusial yang berisi rencana pengembangan lapangan migas. Dengan menerima salinan ini, Aceh melalui BPMA dapat memantau dan memberikan masukan terhadap rencana-rencana besar yang akan dijalankan di wilayahnya.
Langkah Strategis Menuju Kesejahteraan: Apa Harapan Aceh?
M Nasir menyatakan bahwa keputusan Menteri ESDM ini adalah capaian penting dari hasil perjuangan dan kerja sama berbagai pihak di Aceh. Mereka selama ini konsisten memperjuangkan hak daerah dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Ini adalah bukti bahwa suara daerah didengar dan diakomodasi oleh pemerintah pusat.
"Ini berkat usaha bersama dan dukungan masyarakat Aceh yang terus mendorong agar kewenangan migas di luar 12 hingga 200 mil dapat menjadi bagian dari tanggung jawab bersama Aceh dan pusat," ujarnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya dukungan publik dalam mencapai tujuan ini.
Nasir menuturkan, langkah ini menjadi babak baru bagi Aceh dalam memperkuat peran daerah dalam sektor energi dan sumber daya alam. Melalui mekanisme kerja sama dengan SKK Migas, pemerintah Aceh melalui BPMA akan memiliki posisi yang lebih kuat dan strategis.
"Kami akan segera menindaklanjuti arahan Bapak Menteri ESDM untuk berkoordinasi dengan SKK Migas. Ini langkah maju yang tidak hanya memperkuat posisi Aceh, tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan kontribusi migas bagi pembangunan nasional," katanya. Ini menunjukkan komitmen Aceh untuk segera merealisasikan kebijakan ini.
Komitmen Pusat untuk Kekhususan Aceh: Mengapa Ini Penting?
Seluruh pelaksanaan kerja sama ini akan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas di Aceh. Ini menjamin bahwa setiap langkah yang diambil memiliki dasar hukum yang kuat.
Nasir kembali menegaskan bahwa kebijakan ini menjadi bukti nyata komitmen pemerintah pusat untuk menghormati kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam UUPA. Ini adalah bentuk implementasi nyata dari otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, yang diharapkan dapat membawa dampak positif.
"Ke depan, kami berharap sinergi ini dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh melalui optimalisasi potensi migas," demikian M Nasir. Harapan ini adalah inti dari seluruh kebijakan ini: peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh.
Dampak Jangka Panjang: Lebih dari Sekadar Produksi Migas
Dalam surat Menteri Bahlil itu, juga ditegaskan bahwa prinsip kerja sama ini dilaksanakan dengan ketentuan sepanjang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kegiatan hulu migas dan meningkatkan produksi migas dalam wilayah tersebut. Artinya, tujuan utama adalah efisiensi dan peningkatan hasil.
Dampak jangka panjang dari kebijakan ini sangat luas. Selain potensi peningkatan pendapatan daerah, Aceh juga berpeluang untuk mengembangkan sumber daya manusia lokal di sektor migas. Ini bisa berarti lebih banyak lapangan kerja, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas institusi daerah.
Peningkatan produksi migas dari wilayah Aceh juga akan berkontribusi pada ketahanan energi nasional. Di tengah fluktuasi harga energi global dan kebutuhan domestik yang terus meningkat, setiap tetes minyak dan gas yang diproduksi di dalam negeri sangatlah berharga. Kebijakan ini adalah win-win solution bagi Aceh dan juga Indonesia secara keseluruhan.




 
							













