Pemerintah China, yang selama ini dikenal sangat ketat dalam urusan sensor internet, kini mengambil langkah yang lebih ekstrem. Mereka secara resmi menyatakan perang terhadap konten-konten bernada pesimis yang beredar luas di berbagai platform media sosial. Ini adalah babak baru dalam upaya Beijing mengontrol narasi publik.
Sejak lama, sensor internet di Negeri Tirai Bambu memang menjadi momok bagi kebebasan berekspresi. Berbagai kritik politik, serangan terhadap kepemimpinan Partai Komunis, hingga pembahasan peristiwa sejarah yang dianggap sensitif, selalu menjadi target utama penghapusan. Namun, kini target sensor meluas hingga ke ranah emosi dan pandangan hidup.
China Larang Konten Pesimis, Apa yang Terjadi?
Administrasi Siber China pada Senin (22/9) mengumumkan kampanye nasional selama dua bulan untuk menekan tren pesimisme. Kampanye ini menyasar platform media sosial, siaran langsung, dan video pendek yang menjadi wadah ekspresi jutaan warganya. Beijing ingin memastikan warganya tetap ‘optimis’ di tengah berbagai tantangan.
Beberapa konten yang menjadi sasaran utama adalah yang sengaja menafsirkan fenomena sosial secara salah atau secara selektif menggembar-gemborkan kasus-kasih negatif. Konten semacam itu dinilai dapat mempromosikan pandangan dunia yang nihilis atau negatif lainnya, yang dianggap berbahaya bagi stabilitas sosial.
Pemerintah juga menargetkan konten yang terlalu merendahkan diri sendiri atau memperbesar perasaan putus asa dan negatif. Hal ini dikhawatirkan dapat mendorong orang lain untuk mengikuti jejak mereka, menciptakan gelombang pesimisme yang lebih luas di masyarakat. Tujuannya jelas: membentuk narasi yang lebih positif dan konstruktif.
Mengapa Pesimisme Jadi Musuh Baru Beijing?
Langkah sensor ini muncul di tengah bayang-bayang resesi ekonomi yang menghantam China. Krisis properti yang berkepanjangan telah menghancurkan kepercayaan konsumen, mengurangi daya beli, dan meningkatkan angka pengangguran, terutama di kalangan pemuda. Prospek masa depan banyak anak muda pun menjadi suram.
Perasaan putus asa ini mendorong generasi muda untuk mengadopsi gaya hidup "lying flat" atau "tang ping." Istilah ini menggambarkan pengejaran kehidupan sederhana dan bebas stres, di mana individu memilih untuk tidak terlalu ambisius atau berkompetisi di tengah tekanan sosial dan ekonomi yang tinggi. Gerakan ini menjadi populer di internet China sejak 2021.
Kabar penyensoran ini bukan tanpa alasan, beberapa blogger yang dikenal mendokumentasikan gaya hidup "lying flat" melaporkan bahwa video mereka dihapus. Akun media sosial mereka juga diblokir, menandakan bahwa pemerintah melihat gerakan ini sebagai ancaman terhadap etos kerja dan produktivitas nasional.
Regulator internet juga tidak segan menjatuhkan sanksi kepada platform yang dianggap lalai. Weibo, Kuaishou (mirip TikTok), dan Xiaohongshu (mirip Instagram) semuanya dikenakan sanksi bulan ini karena membiarkan informasi "merugikan" muncul di topik tren. Ini termasuk "membesar-besarkan pembaruan pribadi selebriti dan hal-hal sepele."
Target Sensor yang Makin Meluas
Dalam pernyataan resminya, regulator internet China juga menegaskan bahwa penindakan ini mencakup konten yang "mendorong konfrontasi ekstrem antar kelompok." Selain itu, konten yang "menyebarkan ketakutan dan kecemasan," serta "memicu kekerasan dan permusuhan online" juga akan menjadi target. Beijing ingin menjaga harmoni dan ketertiban di dunia maya.
Postingan online, komentar, dan topik tren yang berkaitan dengan rumor ekonomi juga masuk dalam daftar hitam. Teknik doxxing (menyebarkan informasi pribadi tanpa izin) dan "narasi pesimistis seperti usaha sia-sia" semuanya termasuk dalam cakupan kampanye ini. Pemerintah ingin mengendalikan informasi sensitif yang dapat memicu kepanikan.
Kampanye ini juga menargetkan konten yang "menjual kecemasan" dengan memanfaatkan kekhawatiran seputar pekerjaan, kencan, dan pendidikan untuk mempromosikan penjualan kelas atau produk terkait. Praktik ini dianggap mengeksploitasi kerentanan publik demi keuntungan pribadi, sehingga perlu ditindak tegas.
Regulator tersebut mendesak masyarakat untuk "secara aktif melaporkan kasus-kasus semacam itu" guna "melawan provokasi jahat yang memicu sentimen negatif." Ini adalah upaya untuk mengubah warga menjadi mata dan telinga pemerintah, menciptakan lingkungan di mana pesimisme tidak memiliki tempat.
Ekonomi China di Tengah Badai Ketidakpastian
Langkah sensor yang agresif ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi China yang terus menghadapi berbagai tantangan domestik dan eksternal. Tekanan ini membuat target pertumbuhan tahunan sebesar 5 persen terasa semakin berat untuk dicapai. Pemerintah berupaya keras menjaga stabilitas di tengah gejolak.
Menurut data yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional China, pertumbuhan produksi pabrik dan penjualan ritel turun ke level terendah dalam 12 bulan. Indikator ini mencerminkan kesehatan sektor manufaktur dan konsumsi negara tersebut, yang kini menunjukkan tanda-tanda perlambatan signifikan.
Pada Agustus, tingkat pengangguran bagi mereka yang berusia antara 16 dan 24 tahun, tanpa termasuk pelajar, naik menjadi 18,9 persen. Angka ini merupakan level tertinggi dalam dua tahun terakhir, menyoroti krisis lapangan kerja yang serius di kalangan pemuda. Kondisi ini tentu saja memicu kekhawatiran dan pesimisme.
Dengan membatasi ekspresi pesimisme, pemerintah China berharap dapat mengendalikan narasi publik dan mendorong optimisme di kalangan warganya. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah sensor dapat benar-benar mengatasi akar masalah ekonomi dan sosial yang memicu perasaan putus asa tersebut? Hanya waktu yang bisa menjawab.


















