Kasus pencemaran radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande, Serang, Banten, baru-baru ini menggemparkan publik. Insiden ini tak hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga menjadi sorotan tajam terhadap sistem pengawasan nuklir dan radiasi nasional yang ternyata menyimpan "lubang besar."
Mulyanto, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS, tak tinggal diam. Ia menyebut bahwa kejadian di Cikande ini bukan sekadar insiden biasa, melainkan cerminan dari kelalaian negara dalam melindungi rakyatnya. Pengawasan radiasi di pintu masuk pelabuhan disebutnya lemah, dan kelembagaan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) pun dianggap tidak berdaya.
Skandal Pengawasan Nuklir Nasional Terkuak
"Kasus Cikande ini tidak boleh dianggap sebagai insiden biasa," tegas Mulyanto dalam keterangannya. Menurutnya, ini adalah bukti nyata bahwa negara lengah, membiarkan rakyat terancam bahaya radiasi karena kelembagaan pengawasan yang rapuh dan alat deteksi yang dibiarkan rusak. Sebuah tamparan keras bagi kedaulatan nuklir Indonesia.
Politisi PKS itu pun mendesak Presiden agar segera bertindak. Ia menyerukan pembentukan kembali Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan pengisian pimpinan Bapeten secara definitif. Tak hanya itu, DPR bersama pemerintah juga diminta mengucurkan anggaran darurat untuk memulihkan alat deteksi radiasi di pelabuhan-pelabuhan strategis nasional.
Akar Masalah: Dari Anggaran Hingga Kepemimpinan Kosong
Menurut Mulyanto, pemerintah perlu serius memperkuat kembali kelembagaan yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya serta teknologi nuklir dan radiasi di Indonesia. Ada banyak faktor yang diduga menjadi penyebab utama di balik kelolosan material berbahaya ini.
Radiation Portal Monitor (RPM) Mati Suri?
Salah satu dugaan terkuat adalah tidak berfungsinya Radiation Portal Monitor (RPM). Alat ini seharusnya menjadi garda depan, penyaring utama bahan-bahan beradiasi yang masuk ke Indonesia. Namun, Mulyanto menduga RPM ini mati suri, tidak berfungsi optimal karena perawatan dan kalibrasi yang terhenti akibat keterbatasan anggaran.
Bayangkan, sebuah alat vital untuk keamanan negara dibiarkan begitu saja karena masalah dana. Ini menunjukkan prioritas yang salah dalam melindungi masyarakat dari ancaman radiasi yang tak terlihat namun mematikan.
Bapeten Kehilangan Taring?
Pembubaran Kementerian Riset dan Teknologi juga dinilai menjadi pukulan telak bagi Bapeten. Badan pengawas ini kehilangan payung koordinasi dan akses anggaran yang memadai, membuatnya kesulitan bergerak secara efektif. Tanpa dukungan struktural yang kuat, bagaimana Bapeten bisa menjalankan tugas pengawasannya dengan optimal?
Lebih parah lagi, posisi Kepala dan Sekretaris Utama Bapeten saat ini tengah kosong karena pensiun, dan hanya dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt). Kekosongan kepemimpinan definitif ini membuat daya dorong koordinasi lintas kementerian/lembaga menjadi sangat lemah, menciptakan celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Nasib BATAN: Ahli Nuklir Terpecah Belah?
Tak hanya Bapeten, nasib Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) juga menjadi sorotan. BATAN, yang sebelumnya menjadi rumah bagi para ahli nuklir dan radiasi di Indonesia, kini telah dibubarkan dan dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Langkah ini dipertanyakan, apakah justru melemahkan konsentrasi keahlian nuklir nasional?
Eks anggota Komisi Energi DPR RI ini mengatakan bahwa kelemahan struktural kelembagaan dan teknis tersebut memungkinkan scrap logam yang tercemar Cs-137 lolos dari pemeriksaan. Akibatnya, lingkungan tercemar, publik resah, dan bahkan ekspor produk nasional pun terganggu. Sebuah kerugian besar yang harus ditanggung negara.
Ancaman Nyata: Bukan Sekadar Insiden Biasa
Mulyanto menegaskan bahwa kedaulatan nuklir adalah bagian tak terpisahkan dari kedaulatan negara. Keselamatan publik, menurutnya, tidak boleh ditukar dengan kelalaian birokrasi atau pemangkasan anggaran yang tidak tepat sasaran. Ini adalah prinsip dasar yang harus dipegang teguh oleh pemerintah.
Pemerintah wajib menata ulang koordinasi antara Bapeten, BRIN, Bea Cukai, dan Kementerian Perhubungan. Tujuannya jelas: memastikan rantai pengawasan radiasi bekerja secara terpadu, akurat, dan tanpa celah. Tanpa koordinasi yang solid, insiden serupa bisa terulang kembali kapan saja.
Mulyanto menekankan bahwa kasus Cikande harus menjadi pelajaran berharga. Keamanan nuklir bukan sekadar urusan teknis semata, melainkan bagian fundamental dari keamanan masyarakat secara keseluruhan. Ini menyangkut hidup dan mati banyak orang, serta reputasi Indonesia di mata dunia.
Mendesak Presiden: Langkah Darurat Penyelamatan!
Penguatan kembali fungsi BATAN dan pengawasan radiasi adalah kebutuhan mendesak. Ini bukan hanya untuk melindungi masyarakat dan lingkungan, tetapi juga untuk menjaga kredibilitas Indonesia di mata internasional. Dunia sedang mengawasi bagaimana Indonesia menangani ancaman radiasi ini.
Jika negara gagal menunjukkan keseriusan, bukan tidak mungkin produk-produk ekspor Indonesia akan terus mendapat penolakan. Lebih dari itu, kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam menjaga keamanan nasional akan terkikis.
Kronologi Pencemaran Cesium-137 di Cikande
Lalu, bagaimana sebenarnya material radioaktif Cesium-137 ini bisa ditemukan di Cikande? Kisah ini bermula dari penolakan produk udang beku Indonesia oleh otoritas Amerika Serikat di sejumlah pelabuhan besar. Sebuah alarm bahaya yang berbunyi dari seberang lautan.
Pemeriksaan oleh Food and Drug Administration (FDA) serta Bea Cukai AS pada Agustus 2025 lalu mendeteksi adanya kandungan radiasi pada kontainer udang. Penolakan ini sontak memicu investigasi serius di dalam negeri.
Hasil penelusuran tim gabungan akhirnya membawa mereka ke Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang. Di sebuah tempat pengumpulan logam bekas, ditemukanlah material yang positif mengandung Cs-137. Sebuah temuan yang mengagetkan sekaligus mengkhawatirkan.
Pemeriksaan lebih lanjut memastikan bahwa sumber pencemaran berasal dari aktivitas peleburan scrap metal di PT Peter Metal Technology (PMT), yang beroperasi di dalam kawasan industri tersebut. Sebuah perusahaan yang seharusnya beroperasi dengan standar keamanan tinggi, namun justru menjadi sumber masalah besar.
Kasus Cikande ini adalah peringatan keras bagi Indonesia. Sudah saatnya pemerintah serius meninjau ulang dan memperkuat seluruh sistem pengawasan nuklir dan radiasi. Jangan sampai kelalaian ini berujung pada bencana yang lebih besar, mengancam kesehatan rakyat dan masa depan bangsa. Ini adalah ujian kedaulatan dan komitmen negara terhadap keselamatan warganya.


















