banner 728x250

Geger! Aplikasi AI ‘Text With Jesus’ Bikin Kontroversi, Bisa Ngobrol Langsung dengan Tokoh Suci?

geger aplikasi ai text with jesus bikin kontroversi bisa ngobrol langsung dengan tokoh suci portal berita terbaru
banner 120x600
banner 468x60

Sebuah aplikasi kecerdasan buatan (AI) terbaru yang memungkinkan penggunanya berinteraksi dengan sosok Yesus Kristus kini tengah memicu perdebatan sengit di kalangan umat beragama. Aplikasi bernama "Text With Jesus" ini menawarkan pengalaman unik, seolah-olah penggunanya bisa bertanya langsung kepada Maria, Yusuf, Yesus, hingga hampir ke-12 rasul dalam ajaran Kristen. Ribuan pelanggan berbayar sudah menjajal fitur kontroversial ini.

Apa Itu ‘Text With Jesus’?

banner 325x300

Aplikasi "Text With Jesus" dikembangkan oleh perusahaan teknologi Catloaf Software. Mereka mengklaim aplikasi ini sebagai sarana edukasi spiritual yang interaktif dan modern. Stephane Peter, CEO Catloaf Software, menyebutnya sebagai "cara baru untuk membahas isu-isu keagamaan secara interaktif."

Meski demikian, popularitas aplikasi ini tak lepas dari kontroversi. Di tengah pro dan kontra, "Text With Jesus" berhasil meraih rating tinggi 4,7 dari 5 di App Store, menunjukkan daya tariknya yang besar di kalangan pengguna.

Mengapa Aplikasi Ini Memicu Kontroversi?

Inti dari kontroversi ini terletak pada cara AI berinteraksi dengan pengguna. Meskipun aplikasi secara eksplisit menyatakan bahwa percakapan dijalankan oleh AI, tokoh-tokoh virtual seperti Yesus atau Musa tidak mengakui diri mereka sebagai AI saat ditanya langsung. Peter menjelaskan bahwa versi terbaru GPT-5 dari ChatGPT, yang menjadi basis aplikasi ini, memang lebih mampu berperan sebagai karakter religius dan menolak tegas jika disebut sebagai robot.

Hal ini tentu saja membuat banyak kalangan religius merasa dilecehkan. Mereka menganggap aplikasi ini merendahkan iman dan menggantikan peran penting tokoh suci. Christopher Costello dari Catholic Answers, sebuah lembaga pelayanan daring Katolik, menegaskan bahwa mereka tidak ingin AI menggantikan manusia, melainkan hanya membantu.

Catholic Answers sendiri pernah mengalami insiden serupa dengan karakter AI bernama "Father Justin." Setelah menuai protes karena dianggap melecehkan jabatan imam, nama tersebut akhirnya diubah menjadi "Justin" saja. Ini menunjukkan sensitivitas tinggi umat beragama terhadap representasi tokoh suci.

AI Merambah Semua Agama, Bukan Hanya Kristen

Fenomena penggunaan AI dalam konteks keagamaan ternyata tidak hanya terjadi di kalangan Kristen. Agama-agama besar lain juga mulai mengadopsi teknologi serupa. Ada Deen Buddy untuk umat Islam, Vedas AI untuk Hindu, dan AI Buddha untuk penganut Buddha.

Mayoritas aplikasi ini umumnya menyatakan diri hanya sebagai alat bantu untuk memahami kitab suci atau ajaran agama. Mereka menekankan bahwa AI bukanlah representasi suci dari tokoh agama, melainkan hanya sebuah alat digital.

Pro dan Kontra: Dari Bantuan Belajar hingga Hilangnya Koneksi Emosional

Penggunaan AI dalam konteks agama memunculkan berbagai pandangan, baik yang mendukung maupun yang menentang. Ada yang melihatnya sebagai inovasi yang bermanfaat, namun tak sedikit pula yang khawatir akan dampak negatifnya.

Sisi Positif: Akses Cepat dan Bantuan Belajar

Nica, seorang perempuan Filipina berusia 28 tahun yang tergabung dalam Gereja Anglikan, mengaku sering menggunakan ChatGPT untuk belajar Alkitab. Meskipun pendetanya tidak menyetujui, ia melihat AI sebagai pelengkap, bukan pengganti. Ia memiliki komunitas Kristen, suami, dan pembimbing rohani, namun terkadang hanya butuh jawaban cepat untuk pertanyaan acak seputar Alkitab.

Ketersediaan informasi instan ini menjadi daya tarik utama bagi sebagian orang. AI bisa menjadi "perpustakaan" berjalan yang siap menjawab pertanyaan kapan saja, tanpa perlu menunggu atau mencari referensi fisik.

Sisi Negatif: Kekhawatiran Akan Isolasi dan Kehilangan Esensi Iman

Namun, penggunaan AI dalam konteks agama bukan tanpa kritik. Rabbi Gilah Langner, seorang pemuka agama Yahudi, menekankan pentingnya koneksi antarmanusia dalam memahami ajaran agama. Ia berpendapat bahwa koneksi emosional yang esensial dalam iman tidak bisa didapatkan dari AI, meskipun hasilnya mungkin sangat bernuansa.

Langner khawatir AI dapat membuat orang merasa terisolasi dan terputus dari tradisi keagamaan yang hidup. Senada dengan itu, seorang wanita bernama Emanuela, saat keluar dari Katedral St. Patrick di New York, berpendapat bahwa orang yang ingin percaya kepada Tuhan sebaiknya bicara dengan orang-orang yang juga percaya, bukan pada chatbot. Ini menyoroti nilai komunitas dan interaksi langsung dalam pengalaman beragama.

Ketika AI Menggantikan Pendeta di Mimbar

Bahkan, AI pernah dipakai untuk menyampaikan khotbah secara penuh dalam sebuah gereja. Pendeta Jay Cooper dari Violet Crown City Church di Austin, Texas, menggunakan asisten AI untuk memimpin ibadah pada November 2023. Meskipun ia sudah memperingatkan jemaat sebelumnya, banyak yang merasa risih dan bahkan panik, mengira gereja mereka kini menjadi "gereja AI."

Cooper mengakui bahwa ibadah tersebut menarik perhatian orang-orang yang biasanya tidak datang ke gereja, terutama para penggemar video game. Namun, ia juga menyimpulkan bahwa AI tidak dapat menyampaikan "hati dan semangat dari apa yang biasanya kami lakukan" dalam ibadah. Ini menunjukkan batasan AI dalam menggantikan pengalaman spiritual yang mendalam.

Bagaimana Sikap Vatikan Terhadap AI?

Menariknya, Vatikan justru menunjukkan keterbukaan terhadap perkembangan AI. Tahun lalu, Paus Fransiskus menunjuk Demis Hassabis, salah satu pendiri laboratorium AI Google DeepMind, sebagai anggota Akademi Ilmiah Kepausan. Penunjukan ini mengindikasikan bahwa Gereja Katolik tidak menutup diri sepenuhnya terhadap teknologi.

Langkah ini bisa diartikan sebagai upaya Vatikan untuk memahami dan mungkin membimbing perkembangan AI dari perspektif etika dan moral. Meskipun demikian, keterbukaan ini tidak berarti mereka akan serta-merta mengadopsi AI dalam setiap aspek keagamaan tanpa pertimbangan mendalam.

Kontroversi seputar aplikasi AI seperti "Text With Jesus" ini hanyalah permulaan. Seiring dengan kemajuan teknologi, perdebatan tentang peran AI dalam kehidupan spiritual dan keagamaan akan terus berlanjut. Pertanyaannya bukan lagi apakah AI akan masuk ke ranah agama, melainkan bagaimana kita sebagai manusia akan menavigasi dan mendefinisikan batas-batasnya agar tetap menjaga esensi iman dan koneksi kemanusiaan.

banner 325x300