Sebuah laporan investigasi yang mengejutkan baru-baru ini mengguncang dunia maya, mengungkap praktik mengerikan di balik algoritma TikTok. Platform media sosial raksasa ini dituding secara aktif mengarahkan penggunanya yang masih belia, bahkan yang baru berusia 13 tahun, ke konten seksual eksplisit dan pornografi melalui saran kata pencarian. Temuan ini sontak memicu kekhawatiran serius tentang keamanan anak di dunia digital.
Laporan yang diterbitkan oleh Global Witness, sebuah lembaga pengawas nirlaba terkemuka asal Inggris, menunjukkan betapa rentannya anak-anak terhadap bahaya tersembunyi di aplikasi yang mereka gunakan setiap hari. Investigasi ini bukan sekadar dugaan, melainkan hasil dari eksperimen terkontrol yang dirancang untuk membuktikan dugaan tersebut. Hasilnya? Jauh lebih mengkhawatirkan dari yang dibayangkan.
Investigasi Global Witness: Bagaimana Algoritma TikTok Bekerja?
Global Witness memulai investigasinya dengan metode yang cukup cerdik dan teliti. Mereka membuat tujuh akun TikTok baru di Inggris, masing-masing menyamar sebagai anak berusia 13 tahun—usia minimum yang diizinkan untuk membuat akun di platform tersebut. Untuk memastikan tidak ada bias dari riwayat penggunaan sebelumnya, setiap akun dibuat menggunakan ponsel yang baru direset dan tanpa jejak pencarian atau aktivitas digital apa pun.
Langkah ini krusial untuk membuktikan bahwa saran pencarian yang muncul murni berasal dari algoritma TikTok itu sendiri, bukan dari kebiasaan pengguna. Bahkan, para peneliti mengaktifkan "mode terbatas" pada akun-akun tersebut, sebuah fitur yang seharusnya "membatasi paparan terhadap konten yang mungkin tidak nyaman bagi semua orang," termasuk "konten bernuansa seksual," sebagaimana diklaim oleh TikTok. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain.
Bukan Kebetulan, Tapi Dorongan Aktif!
Dalam laporan yang dipublikasikan pada 3 Oktober 2025, Global Witness menemukan fakta yang bikin merinding: saran pencarian TikTok "sangat seksual" bahkan untuk pengguna yang mengaku berusia 13 tahun dan menelusuri aplikasi dengan "mode terbatas" yang sudah diaktifkan. Ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan yang dijanjikan TikTok seolah tak berdaya atau bahkan diabaikan oleh algoritmanya sendiri.
Lebih parahnya lagi, saran pencarian yang mengarah ke konten seksual muncul hanya dengan satu klik pertama di kolom pencarian untuk tiga dari tujuh akun uji coba. Bayangkan, seorang anak 13 tahun yang baru saja membuat akun dan mencoba mencari sesuatu yang polos, langsung disodori dengan opsi pencarian yang mengarah ke hal-hal yang tidak pantas. Dalam beberapa klik saja setelah pembuatan akun, TikTok sudah menampilkan konten pornografi kepada semua akun uji coba.
"Poin kami bukan hanya bahwa TikTok menampilkan konten pornografi kepada anak di bawah umur, tetapi algoritma pencarian TikTok secara aktif mendorong mereka ke arah konten pornografi," tegas Global Witness dalam laporannya. Pernyataan ini sangat penting, karena ini bukan lagi tentang anak yang mencari konten berbahaya, melainkan algoritma yang secara proaktif memfasilitasi dan bahkan mengarahkan mereka ke sana. Ini adalah perbedaan besar yang menyoroti kegagalan sistematis dalam perlindungan anak.
Tanggapan TikTok: Janji Perbaikan atau Sekadar Alibi?
Menanggapi laporan investigasi yang sangat memberatkan ini, juru bicara TikTok segera mengeluarkan pernyataan. Mereka mengatakan perusahaan berkomitmen penuh untuk menjaga keamanan pengalaman pengguna di platform mereka. "Begitu kami mengetahui klaim ini, kami segera mengambil tindakan untuk menyelidikinya, menghapus konten yang melanggar kebijakan, dan meluncurkan perbaikan pada fitur saran pencarian," ujar juru bicara tersebut.
Pernyataan itu juga mengklaim bahwa TikTok memiliki lebih dari 50 fitur dan pengaturan khusus yang dirancang untuk mendukung keselamatan dan kesejahteraan remaja. Mereka juga berkomitmen penuh untuk menyediakan pengalaman yang aman dan sesuai usia. Lebih lanjut, juru bicara TikTok menyebut bahwa setiap bulan, platform ini menghapus sekitar 6 juta akun anak di bawah umur di seluruh dunia. Proses ini dilakukan dengan berbagai metode deteksi usia, termasuk teknologi canggih untuk mengidentifikasi akun yang kemungkinan digunakan oleh anak di bawah 13 tahun, serta pelatihan tim moderasi untuk mengenali tanda-tanda penggunaan aplikasi oleh anak di bawah umur.
Namun, apakah janji-janji perbaikan ini cukup? Para kritikus berpendapat bahwa respons semacam ini seringkali terlambat dan hanya bersifat reaktif. Jika algoritma sudah terbukti secara aktif mengarahkan anak-anak ke konten berbahaya, maka masalahnya jauh lebih dalam daripada sekadar menghapus konten yang melanggar atau melakukan "perbaikan" kecil. Ini menuntut evaluasi ulang menyeluruh terhadap desain algoritma dan prioritas perusahaan dalam melindungi pengguna termuda mereka.
Implikasi Hukum dan Moral: Ancaman Undang-Undang Keamanan Online Inggris
Laporan investigasi ini muncul pada waktu yang sangat sensitif, hanya beberapa bulan setelah aturan tambahan dari Undang-Undang Keamanan Online Inggris (Online Safety Act) mulai berlaku akhir Juli lalu. Undang-Undang Keamanan Online 2023 adalah seperangkat aturan komprehensif yang dirancang untuk memperketat keamanan internet, khususnya dalam hal perlindungan anak-anak.
Aturan ini mewajibkan perusahaan teknologi untuk melakukan pemeriksaan usia yang ketat agar anak-anak tidak dapat mengakses konten berbahaya, seperti pornografi atau unggahan yang terkait dengan tindakan melukai diri sendiri. Yang menarik, aturan ini tidak hanya berlaku untuk platform online yang berbasis di Inggris, tetapi juga bagi platform global mana pun yang memiliki banyak pengguna di negara tersebut atau dapat diakses dari Inggris. Ini menunjukkan upaya serius pemerintah Inggris untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi warganya, terutama yang masih di bawah umur.
Meskipun demikian, Undang-Undang ini juga tidak luput dari kritik. Kelompok-kelompok seperti Electronic Frontier Foundation (EFF) menyuarakan kekhawatiran bahwa verifikasi usia yang terlalu ketat dapat mengancam privasi semua pengguna, tidak hanya anak-anak. Namun, kasus TikTok ini justru memperkuat argumen bahwa perlindungan anak harus menjadi prioritas utama, bahkan jika itu berarti harus menyeimbangkan dengan isu privasi yang kompleks.
Bahaya Tersembunyi di Balik Layar: Apa yang Harus Dilakukan Orang Tua?
Temuan Global Witness ini menjadi pengingat yang sangat penting bagi orang tua dan wali. Dunia digital, meskipun penuh manfaat, juga menyimpan bahaya yang tak terlihat. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan interaksi dan keuntungan, terkadang bisa mengorbankan keamanan dan kesejahteraan pengguna, terutama yang paling rentan.
Orang tua perlu lebih proaktif dalam mengawasi aktivitas digital anak-anak mereka, bukan dengan melarang total, tetapi dengan mendidik dan membimbing. Diskusi terbuka tentang bahaya online, pengaturan privasi, dan pentingnya berpikir kritis terhadap konten yang dilihat adalah langkah awal yang krusial. Penggunaan fitur kontrol orang tua yang disediakan oleh platform atau aplikasi pihak ketiga juga bisa menjadi lapisan perlindungan tambahan.
Lebih dari itu, laporan ini menyerukan tanggung jawab yang lebih besar dari perusahaan teknologi. Mereka tidak hanya harus berjanji, tetapi juga harus menunjukkan bukti nyata bahwa mereka memprioritaskan keamanan anak di atas segalanya. Transparansi algoritma, audit independen, dan sanksi tegas bagi pelanggar adalah langkah-langkah yang harus dipertimbangkan oleh regulator di seluruh dunia.
Kasus TikTok ini hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar tentang keamanan online dan perlindungan anak di era digital. Ini adalah panggilan bagi kita semua—orang tua, pendidik, regulator, dan tentu saja, perusahaan teknologi—untuk bekerja sama menciptakan lingkungan online yang benar-benar aman dan mendidik bagi generasi mendatang. Jangan sampai algoritma yang seharusnya menghubungkan kita, justru menjerumuskan anak-anak kita ke dalam bahaya.


















