Anggota Komisi XI DPR RI, Kaisar Kiasa Kasih Said Putra, baru-baru ini melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan Kementerian Keuangan. Ia menyoroti penempatan dana jumbo sebesar Rp200 triliun yang dialirkan dari saldo kas negara ke bank-bank BUMN atau Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Kebijakan ini, menurutnya, menyimpan potensi masalah besar.
Meski secara hukum sah, Kaisar secara terang-terangan mempertanyakan efektivitas langkah ini. Menurutnya, potensi dana tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat masih diragukan. Ini bisa jadi "uang tidur" yang justru membebani keuangan negara.
Legal tapi Dipertanyakan Efektivitasnya
Kaisar menegaskan bahwa penempatan dana ini sebenarnya legal dan memiliki dasar hukum yang kuat. Kebijakan ini dilindungi oleh Undang-Undang Keuangan Negara (UU 17/2003) dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004). Jadi, dari sisi regulasi, tidak ada yang salah.
Syaratnya, dana tersebut harus memenuhi prinsip mudah dicairkan, minim risiko, dan transparan. Selain itu, dana harus tetap tercatat di Rekening Kas Umum Negara (RKUN) serta tidak termasuk dalam kategori belanja negara. Semua syarat ini diyakini sudah terpenuhi oleh pemerintah.
"Namun, keyakinan tersebut perlu diuji dengan realitas di lapangan," ujar Kaisar dalam keterangan resminya, Jumat (26/9/2025). Ia menekankan bahwa legalitas saja tidak cukup. Dampak nyata terhadap ekonomi dan kesejahteraan rakyat adalah yang terpenting dari sebuah kebijakan.
Bukan Masalah Likuiditas, tapi Permintaan Kredit Lesu
Menurut Kaisar, akar masalah ekonomi saat ini bukanlah pada kurangnya likuiditas di perbankan. Bank-bank sebenarnya memiliki cukup dana yang siap disalurkan. Masalah utamanya justru terletak pada rendahnya permintaan kredit dari masyarakat dan dunia usaha.
Dunia usaha masih lesu akibat berbagai tekanan ekonomi, dan daya beli masyarakat juga menurun drastis. Akibatnya, banyak perusahaan enggan mengajukan pinjaman baru untuk ekspansi atau modal kerja. Masyarakat juga menahan diri untuk berbelanja atau berinvestasi.
Data OJK per Juni 2025 bahkan menunjukkan fakta yang cukup mencengangkan. Ada kredit sebesar Rp2.304 triliun yang sudah disetujui oleh bank, namun belum dicairkan oleh debitur. Ini artinya, uang tersebut "menganggur" atau tidak bergerak di sistem perbankan.
"Dengan kata lain, menambah Rp200 triliun di bank Himbara tanpa strategi konkret memperkuat fondasi di sektor riil hanya menambah ‘uang tidur’ di perbankan," jelas Kaisar. Dana ini berpotensi besar tidak terserap dan hanya menumpuk tanpa memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
Ancaman Beban Ganda dan Risiko Fiskal
Kaisar juga mengingatkan adanya potensi beban ganda yang bisa timbul dari kebijakan penempatan dana ini. Pemerintah harus membayar bunga yang lebih tinggi kepada bank-bank Himbara dibandingkan dengan bunga deposito biasa. Ini tentu saja menambah pengeluaran negara yang harus ditanggung oleh APBN.
Di sisi lain, perbankan tetap menanggung kredit menganggur yang tak terserap oleh pasar. Mereka harus mengelola dana besar ini tanpa bisa menyalurkannya secara produktif kepada sektor riil. Ini bisa menjadi dilema tersendiri bagi bank, karena dana tersebut tidak menghasilkan keuntungan optimal.
"Pada akhirnya bisa menjadi beban fiskal yang akan ditanggung rakyat lewat APBN," tegasnya. Jika dana ini tidak efektif dalam menggerakkan ekonomi, maka rakyatlah yang akan menanggung kerugiannya melalui pajak dan alokasi anggaran negara yang seharusnya bisa digunakan untuk program lain yang lebih mendesak.
Solusi Konkret dari DPR untuk Ekonomi Rakyat
Melihat masalah yang ada, Kaisar tidak hanya melontarkan kritik. Ia juga menawarkan empat langkah konkret yang harus menjadi perhatian utama pemerintah untuk mengatasi kelesuan ekonomi dan memastikan dana tersalurkan secara efektif. Solusi ini diharapkan bisa menggerakkan sektor riil.
Pertama, penguatan kredit UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Sektor UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional dan membutuhkan akses mudah ke modal. Kedua, stimulus kredit modal kerja untuk perusahaan-perusahaan. Ini penting agar roda bisnis bisa kembali berputar dan menciptakan lapangan kerja.
Ketiga, relaksasi kredit untuk sektor perdagangan dan konstruksi. Kedua sektor ini seringkali menjadi indikator kesehatan ekonomi dan memiliki efek domino yang besar. Keempat, dukungan kredit khusus untuk sektor pertanian dan sektor produktif padat karya. Sektor-sektor ini terbukti mampu menciptakan banyak lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
"Dengan keterlibatan aktif banyak pihak, terutama perbankan, pelaku usaha, dan regulator, likuiditas yang tersedia dapat diarahkan ke sektor riil," tutur Kaisar. Ini akan menciptakan efek berganda (multiplier effect) yang positif dan berkelanjutan bagi perekonomian nasional.
Efek berganda ini termasuk penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan konsumsi rumah tangga, serta penguatan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Semua ini krusial untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
Pengawasan Ketat dan Strategi Alternatif Mendesak
DPR tidak akan tinggal diam dalam mengawal kebijakan ini. Kaisar menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengawasi dampak konkret dari kebijakan penempatan dana Rp200 triliun ini. Pengawasan ketat diperlukan untuk memastikan bahwa dana tersebut benar-benar memberikan manfaat nyata bagi ekonomi.
"Jika dalam waktu dekat langkah pemerintah tidak ada dampak konkret, Kemenkeu perlu menyiapkan strategi alternatif," tandas Kaisar. Ini adalah langkah antisipatif untuk menghindari risiko pemborosan fiskal yang bisa merugikan negara.
Dana yang mengendap tanpa hasil hanya akan membebani keuangan negara tanpa memberikan nilai tambah. Pemerintah harus sigap mencari solusi lain jika strategi awal tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Ini demi menjaga stabilitas fiskal dan kesejahteraan rakyat Indonesia.


















