Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali diterpa badai konflik internal yang memanas. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) yang mengesahkan Muhamad Mardiono sebagai Ketua Umum PPP telah memicu gelombang penolakan keras dari sejumlah Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) partai berlambang Ka’bah ini. Mereka menuding Surat Keputusan (SK) tersebut mengabaikan fakta krusial yang terjadi dalam Muktamar X PPP di Ancol, Jakarta.
Konflik ini mencuat setelah Menkumham mengeluarkan SK bernomor M.HH-14.AH.11.02 Tahun 2025 tanggal 1 Oktober 2025. SK tersebut secara resmi mengukuhkan kepengurusan DPP PPP di bawah kepemimpinan Muhamad Mardiono, sebuah keputusan yang langsung menjadi sorotan tajam dan memicu reaksi berantai di tubuh partai.
Awal Mula Kegaduhan: SK Menkumham dan Penolakan Massal
Penolakan pertama dan paling vokal datang dari Ketua DPW PPP Banten, H. Subadri Ushuludin. Ia menegaskan, pihaknya bersama sejumlah pengurus DPW dan DPC lainnya menolak SK Menkumham tersebut dengan tegas. Menurut Subadri, pengesahan Mardiono sebagai Ketua Umum sama sekali tidak sesuai dengan fakta hasil Muktamar X.
Subadri, yang juga merupakan Utusan atau Muktamirin pada Muktamar X PPP di Ancol, Jakarta, menyatakan dirinya menyaksikan langsung jalannya Muktamar. Ia bersikeras bahwa proses pemilihan Ketua Umum yang sah di Muktamar tersebut tidak pernah mengarah pada aklamasi untuk Muhamad Mardiono. Pernyataan ini menjadi inti dari keberatan yang disuarakan.
Klaim Aklamasi Agus Suparmanto: Versi Penolak SK
Lebih lanjut, Subadri menjelaskan bahwa Muktamar X PPP di Ancol telah berlangsung lengkap sesuai mekanisme dan tata tertib yang berlaku. Seluruh Sidang Paripurna, dari I hingga VIII, telah dilaksanakan secara maraton dan diikuti oleh para peserta. Hasil dari seluruh rangkaian sidang tersebut, menurutnya, adalah terpilihnya Agus Suparmanto secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP.
"Sebagai utusan atau Muktamirin, kami menyaksikan sendiri secara langsung tidak ada dan tidak pernah ada aklamasi untuk Muhamad Mardiono sebagai ketua umum," tegas Subadri, membantah klaim aklamasi yang mendasari SK Menkumham. Ini menunjukkan adanya dua narasi yang bertolak belakang mengenai hasil Muktamar, menciptakan kebingungan dan perpecahan di internal partai.
Gelombang Penolakan Meluas: Dari Jawa hingga NTT
Penolakan terhadap SK Menkumham ini tidak hanya berhenti di Banten, melainkan menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah. Ketua DPW PPP Jawa Timur, Mundjidah Wahab, turut menyuarakan penolakan serupa. Ia menegaskan bahwa SK Menkumham tersebut secara jelas mengabaikan fakta-fakta yang terjadi di Muktamar X PPP Ancol.
Dari Jawa Tengah, Ketua DPW PPP Masruhan Samsurie menambahkan bahwa sebagian besar peserta Muktamar, termasuk 31 dari total 35 DPC PPP di Jawa Tengah, meneruskan sesi pembahasan materi hingga sidang paripurna terakhir. Proses ini, katanya, berujung pada aklamasi peserta Muktamar yang memilih Agus Suparmanto sebagai Ketua Umum PPP untuk masa bakti 2025-2030. Ini menunjukkan dukungan signifikan terhadap Agus Suparmanto di wilayah Jawa Tengah.
Masruhan bahkan menyebutkan bahwa banyak kyai dan ulama dari Jawa Tengah yang hadir saat pembukaan Muktamar di Ancol sangat menyayangkan keputusan Menkumham. Beberapa nama besar yang disebut menolak antara lain Kiyai Abdukah Ubab Maimoen, Kyai Haris Shodaqoh, dan Kiyai Fadholan Musyafa. Kehadiran nama-nama ulama berpengaruh ini menambah bobot penolakan yang terjadi, menunjukkan bahwa keberatan ini bukan hanya dari kalangan politisi, tetapi juga tokoh agama yang dihormati.
Gelombang penolakan juga merambah ke wilayah timur Indonesia, menunjukkan skala konflik yang meluas. Mayoritas pengurus DPC PPP di Nusa Tenggara Timur (NTT) turut menolak SK Menkumham. Sebanyak tujuh DPC PPP se-NTT, meliputi Sumba Barat, Nagekeo, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Lembata, dan Ende, menyatakan sikap tidak sepakat dan menuntut kejelasan.
Perbedaan Narasi Muktamar X: Siapa yang Benar?
Ketua DPC PPP Nagekeo, Abdul Kadir, memberikan perspektif yang lebih detail mengenai perbedaan narasi Muktamar X. Menurutnya, SK yang diteken Menkumham tidak sesuai dengan fakta di lapangan. SK tersebut mengakui Mardiono sebagai Ketua Umum PPP secara aklamasi melalui proses Muktamar, sebuah klaim yang dibantah keras oleh kubu penolak.
Abdul Kadir menegaskan, fakta sebenarnya saat Muktamar X justru menunjukkan Agus Suparmanto yang terpilih secara aklamasi. Ia menuding kubu Mardiono justru tidak menyelesaikan Muktamar X, melainkan memilih meninggalkan arena sebelum pemilihan Ketua Umum PPP berlangsung. "Kami yang mengikuti proses-proses sidang dalam Muktamar X, sementara mereka (kubu Mardiono) memilih keluar dari arena Muktamar X," beber Abdul.
Pernyataan ini mengindikasikan adanya dua kubu yang menjalankan proses Muktamar secara terpisah atau salah satu kubu tidak mengakui proses yang dilakukan kubu lainnya. Ini menjadi inti permasalahan yang sangat krusial, mempertanyakan legitimasi proses Muktamar itu sendiri. Oleh karena itu, tujuh DPC di NTT secara tegas menolak SK Menkumham yang mengesahkan kubu Mardiono, menuntut agar fakta di lapangan diakui.
Implikasi Konflik Internal bagi PPP
Konflik internal yang kembali memanas ini tentu membawa implikasi serius bagi masa depan PPP, partai yang memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia. Perpecahan di tingkat pimpinan dan akar rumput dapat menggerus soliditas partai, terutama menjelang agenda-agenda politik penting di masa mendatang. Keabsahan kepemimpinan menjadi pertanyaan besar yang berpotensi menghambat gerak partai dalam konsolidasi dan persiapan pemilu.
Stabilitas organisasi adalah kunci bagi partai politik untuk bisa efektif dalam menjalankan fungsi-fungsinya, baik sebagai partai penguasa maupun oposisi. Dengan adanya dua klaim kepemimpinan yang berbeda, PPP berisiko terjebak dalam pusaran konflik hukum dan administratif yang panjang. Hal ini bisa berdampak pada elektabilitas dan kepercayaan publik terhadap partai, serta merusak citra partai di mata koalisi dan masyarakat luas.
Menanti Babak Baru Penyelesaian Konflik
Dengan penolakan massal dari berbagai DPW dan DPC, bola panas kini berada di tangan Menkumham dan juga pihak-pihak yang merasa dirugikan. Gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau upaya mediasi internal menjadi opsi yang mungkin ditempuh untuk mencari titik terang dan menyelesaikan kemelut ini. Urgensi penyelesaian konflik ini sangat tinggi, mengingat dampak negatifnya yang meluas.
Masyarakat dan kader PPP menanti penyelesaian konflik ini agar partai dapat kembali fokus pada tujuan politiknya dan tidak terus-menerus terjebak dalam drama internal. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah, siapa sebenarnya Ketua Umum PPP yang sah berdasarkan fakta Muktamar X di Ancol? Keputusan ini akan menentukan arah dan masa depan partai berlambang Ka’bah tersebut di kancah politik nasional.


















