Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja membuat gebrakan penting yang akan mengubah lanskap birokrasi Indonesia. Kini, Wakil Menteri (Wamen) resmi dilarang merangkap jabatan, baik di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun organisasi yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Putusan ini memperluas larangan yang sebelumnya hanya berlaku untuk para menteri sesuai Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Detail Putusan MK: Apa Saja yang Dilarang?
Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa Wakil Menteri tidak boleh lagi menjadi pejabat di badan atau lembaga lain. Ini termasuk posisi direksi atau komisaris perusahaan, serta pimpinan organisasi yang anggarannya bersumber dari kas negara. Larangan ini bertujuan untuk memastikan fokus dan integritas pejabat publik dalam menjalankan tugas utamanya.
Meski demikian, pemerintah diberikan waktu dua tahun untuk menyesuaikan semua aturan terkait dengan putusan ini. Tenggat waktu ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah akan segera bertindak atau justru memanfaatkan celah waktu yang diberikan.
Mengapa Putusan Ini Penting? Suara dari Pengamat Politik
Direktur Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, menyambut baik putusan MK ini. Menurutnya, langkah ini sangat sejalan dengan prinsip meritokrasi yang seharusnya dipegang teguh dalam pemerintahan, di mana penempatan pejabat didasarkan pada kompetensi dan kinerja, bukan rangkap jabatan. "Wakil menteri mestinya tidak boleh merangkap jabatan sebagai komisaris," tegas Iwan melalui pesan singkatnya pada Kamis (18/9/2025).
Iwan berharap agar putusan MK ini bisa segera diimplementasikan tanpa harus menunggu dua tahun. Ia melihat ini sebagai momentum emas untuk memperkuat tata kelola pemerintahan dan mengakhiri praktik rangkap jabatan yang selama ini menjadi sorotan publik. Menunda implementasi hanya akan menunda perbaikan yang esensial.
"Jadi tidak harus tunggu 2 tahun. Mestinya begitu ada putusan MK, Presiden harusnya langsung menjalankan itu," ujarnya. Sikap tegas dari Presiden dalam menjalankan amanat putusan ini sangat dinanti untuk menunjukkan komitmen terhadap pemerintahan yang bersih dan efisien.
Dilema Rangkap Jabatan: Kompensasi atau Konflik Kepentingan?
Secara politik, Iwan juga menyoroti alasan di balik penunjukan Wakil Menteri sebagai komisaris BUMN selama ini. Ia menilai, hal itu kerap terjadi karena ruang gerak Wakil Menteri di kementerian seringkali sangat terbatas. Keputusan kebijakan didominasi menteri, sehingga Wakil Menteri hanya mendapat ruang sempit untuk berkreasi dan memberikan dampak.
"Jabatan komisaris bisa jadi kompensasi, meski itu melukai rasa keadilan," jelas Iwan. Pernyataan ini membuka diskusi tentang apakah rangkap jabatan adalah solusi atas keterbatasan peran atau justru menciptakan potensi konflik kepentingan yang lebih besar, yang pada akhirnya merugikan negara dan masyarakat.
KPK Turun Tangan: Dorong Presiden Buat Aturan Tegas
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga turut menyikapi putusan penting dari MK ini. Mengacu data yang dihimpun KPK bersama Ombudsman pada tahun 2020 lalu, setidaknya ada 564 pejabat yang terindikasi rangkap jabatan. Rinciannya, 397 di antaranya adalah komisaris BUMN dan 167 komisaris anak perusahaan BUMN. Angka ini menunjukkan betapa masifnya praktik tersebut.
Plt. Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Aminudin, mengungkapkan temuan yang lebih mengkhawatirkan. Sebanyak 49% pengisi jabatan tersebut tidak sesuai dengan kompetensi teknis yang dibutuhkan, dan 32% di antaranya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serius. Ini adalah alarm bagi tata kelola pemerintahan yang sehat.
"Temuan ini menunjukkan lemahnya pengawasan, rendahnya profesionalitas, dan risiko rangkap pendapatan yang mencederai rasa keadilan publik," kata Aminudin dalam keterangan yang diterima pada Kamis (18/9/2025). Praktik ini tidak hanya mengurangi efektivitas, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat.
Langkah Konkret yang Diharapkan: Perpres atau PP?
Oleh karena itu, KPK sangat mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 128/PUU-XXIII/2025 ini. Mereka mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Pemerintah (PP) sebagai solusi konkret dan cepat. Aturan tersebut diharapkan dapat secara jelas mengatur definisi, ruang lingkup, daftar larangan jabatan, serta sanksi terkait konflik kepentingan dan rangkap jabatan.
Aminudin menegaskan bahwa putusan MK ini mempertegas urgensi pembenahan dalam tata kelola pemerintahan. Tujuannya agar para pejabat publik dapat sepenuhnya fokus pada tugas utama mereka dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, tanpa terpecah oleh kepentingan lain. Ini adalah langkah maju menuju pemerintahan yang lebih bersih, akuntabel, dan berintegritas.
Dengan adanya putusan MK ini, diharapkan tidak ada lagi celah bagi pejabat untuk "nyambi" dan mengabaikan fokus utama mereka. Ini adalah kesempatan emas bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmen nyata dalam mewujudkan birokrasi yang profesional dan bebas dari konflik kepentingan, demi kemajuan bangsa.


















