Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali membuat pernyataan yang menggemparkan panggung politik global. Ia mengeklaim bahwa Iran, musuh bebuyutan Israel, kemungkinan besar akan bergabung dengan kesepakatan Abraham Accords. Jika klaim ini benar-benar terwujud, maka akan terjadi pergeseran paradigma yang sangat signifikan di Timur Tengah. Iran bisa saja membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah skenario yang sebelumnya nyaris tak terbayangkan.
Dalam konferensi pers di Gedung Putih pada Senin (29/9) lalu, Trump dengan percaya diri menyatakan, "Siapa yang tahu, mungkin Iran bisa bergabung." Ia melanjutkan, "Saya rasa mereka akan terbuka untuk itu. Saya sungguh percaya. Mereka bisa menjadi anggota." Pernyataan ini sontak memicu beragam spekulasi dan pertanyaan besar tentang masa depan hubungan regional.
Apa Itu Abraham Accords?
Abraham Accords adalah inisiatif perdamaian yang digagas oleh Donald Trump selama masa kepresidenannya. Tujuannya adalah mendorong negara-negara Arab atau mayoritas Muslim untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, yang selama ini sering dinilai sebagai negara yang melakukan agresi terhadap tetangganya. Kesepakatan ini berhasil membawa Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Israel, sebuah terobosan bersejarah di kawasan tersebut.
Deklarasi Abraham Accords sendiri terdengar sangat idealis dan penuh harapan. Dokumen tersebut menekankan pentingnya menjaga dan memperkuat perdamaian di Timur Tengah berdasarkan saling pengertian dan koeksistensi. Ia juga menyerukan penghormatan terhadap martabat dan kebebasan manusia, termasuk kebebasan beragama, serta mendorong dialog antaragama dan antarbudaya.
Intinya, deklarasi ini memimpikan dunia di mana toleransi dan rasa hormat menjadi landasan bagi setiap orang, tanpa memandang ras, keyakinan, atau etnis. Bunyi awal deklarasi itu menegaskan, "Kami mendorong upaya untuk mempromosikan dialog antaragama dan antarbudaya untuk memajukan budaya damai di antara tiga agama Abraham dan seluruh umat manusia." Sebuah visi yang mulia, namun apakah itu akan berhasil dalam praktiknya?
Namun, Jalan Terjal Menanti?
Meski visi yang ditawarkan begitu manis, banyak pihak yang skeptis terhadap keberhasilan jangka panjang Abraham Accords. Apalagi jika melibatkan Iran, negara yang memiliki sejarah konflik panjang dan ideologi yang sangat bertentangan dengan Israel. Para analis melihat banyak rintangan yang harus dilalui sebelum mimpi perdamaian ini bisa terwujud.
Analisis Skeptis dari Para Ahli
Omar Rahman, seorang peneliti dari Baker Institute for Public Policy di Rice University Texas, AS, mengidentifikasi lima alasan mengapa proyek perdamaian ini sulit mencapai tujuannya. Pandangannya ini memberikan perspektif kritis terhadap klaim ambisius Trump.
1. Nilai Intrinsik yang Absen
Pertama, Abraham Accords dinilai tidak memiliki nilai intrinsik yang kuat. Kesepakatan ini tidak secara langsung mengatasi akar konflik Palestina-Israel, yang merupakan isu sentral dan paling sensitif di Timur Tengah. Tanpa penyelesaian isu Palestina, normalisasi hubungan hanya akan dianggap sebagai kesepakatan parsial dan tidak berkelanjutan oleh banyak pihak. Ini membuat kesepakatan tersebut terasa hampa bagi sebagian besar masyarakat Arab.
2. Ketergantungan pada AS
Kedua, proyek ini terlalu bergantung pada peran Amerika Serikat sebagai mediator utama. Perubahan kebijakan atau prioritas AS di masa depan dapat dengan mudah menggoyahkan fondasi kesepakatan yang telah dibangun. Ketergantungan ini membuat Abraham Accords rentan terhadap dinamika politik internal Amerika, terutama jika ada pergantian pemerintahan yang memiliki pandangan berbeda.
3. Risiko Besar bagi Negara Teluk
Ketiga, normalisasi hubungan dengan Israel menimbulkan terlalu banyak risiko bagi negara-negara Teluk yang bergabung. Ada potensi gejolak domestik dan kritik keras dari publik yang masih sangat pro-Palestina. Keputusan untuk berdamai dengan Israel bisa saja dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina oleh sebagian besar masyarakat Arab, memicu ketidakstabilan internal.
4. Sangat Tidak Populer di Timur Tengah
Keempat, Abraham Accords terbukti sangat tidak populer di sebagian besar negara Timur Tengah. Sentimen anti-Israel masih sangat kuat, terutama di kalangan masyarakat umum yang merasa solidaritas dengan Palestina. Narasi tentang agresi Israel terhadap Palestina telah mengakar kuat dan sulit diubah hanya dengan kesepakatan diplomatik antar elite.
5. Konteks Regional yang Berubah
Kelima, kesepakatan ini menghadapi hambatan dari konteks regional yang terus berubah dan penuh ketegangan. Konflik yang terus berlanjut di berbagai wilayah, seperti Yaman, Suriah, dan Lebanon, semakin memperumit upaya perdamaian. Pergeseran aliansi dan kepentingan geopolitik membuat setiap upaya normalisasi menjadi sangat rapuh dan mudah terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa tak terduga.
Bayangan Konflik Gaza dan Sentimen Anti-Israel
Kondisi ini semakin diperparah setelah serangan Israel ke Gaza yang menimbulkan puluhan ribu korban jiwa. Tragedi kemanusiaan tersebut telah memperburuk citra Israel di mata dunia, terutama di negara-negara Arab dan mayoritas Muslim. Sentimen negatif terhadap Israel kini berada pada titik terendah, membuat gagasan normalisasi hubungan semakin tidak dapat diterima oleh publik luas.
Survei Mengejutkan: Mayoritas Tolak Normalisasi
Sebuah survei dari Arab Opinion Index pada tahun 2022 silam menguatkan pandangan ini. Survei yang melibatkan 14 wilayah negara-negara Arab tersebut menunjukkan hasil yang mencengangkan. Sebanyak 84 persen responden secara tegas menolak hubungan diplomatik dengan Israel, sementara hanya 8 persen yang menyatakan setuju. Angka ini menunjukkan betapa dalamnya penolakan terhadap normalisasi di tingkat akar rumput, bahkan sebelum konflik Gaza terbaru meletus.
Mungkinkah Iran Berubah Pikiran?
Mengingat sejarah panjang permusuhan dan retorika keras antara Iran dan Israel, klaim Trump ini memang terasa sangat ambisius, bahkan fantastis. Iran secara konsisten menentang keberadaan Israel dan mendukung kelompok-kelompok yang menentang Israel, seperti Hamas dan Hizbullah. Perubahan sikap Iran untuk bergabung dengan Abraham Accords akan memerlukan pergeseran politik internal yang sangat drastis, serta pertimbangan geopolitik yang kompleks.
Faktor Geopolitik dan Kepentingan Iran
Dari sudut pandang Iran, bergabung dengan Abraham Accords bisa berarti pengakuan tidak langsung terhadap Israel, sesuatu yang selama ini mereka tolak secara ideologis. Apa imbalan yang cukup besar untuk membuat Iran mengubah kebijakan fundamentalnya yang telah berlangsung puluhan tahun? Mungkin saja Trump melihat potensi kesepakatan yang melibatkan pencabutan sanksi ekonomi atau konsesi lain yang signifikan, namun hal ini masih spekulatif dan sangat sulit diwujudkan mengingat hubungan tegang antara kedua negara.
Dampak pada Stabilitas Regional
Jika skenario yang diimpikan Trump ini terjadi, dampaknya terhadap stabilitas regional akan sangat besar. Ini bisa memicu aliansi baru atau justru memperdalam perpecahan di antara negara-negara Timur Tengah, tergantung bagaimana negara-negara lain merespons. Namun, dengan kondisi politik Iran saat ini, yang sedang menghadapi tantangan domestik dan ketegangan yang memuncak dengan negara-negara Barat, prospek ini tampaknya masih jauh dari kenyataan.
Klaim Donald Trump tentang potensi Iran bergabung dengan Abraham Accords memang menarik perhatian, namun realitas politik di Timur Tengah menunjukkan tantangan yang sangat besar. Sentimen publik yang kuat, sejarah konflik yang mendalam, dan kepentingan geopolitik yang kompleks menjadi penghalang utama. Meskipun Trump dikenal dengan pernyataan-pernyataan berani, mewujudkan perdamaian antara Iran dan Israel melalui Abraham Accords masih menjadi mimpi yang sangat jauh dan penuh keraguan.


















