Jumat, 03 Oktober 2025 — Sebuah manuver diplomatik besar-besaran sedang berlangsung di balik layar konflik Gaza yang tak berkesudahan. Mesir, bersama negara-negara mediator berpengaruh seperti Qatar dan Turki, dilaporkan tengah mengerahkan segala upaya untuk membujuk Hamas agar menerima proposal gencatan senjata yang diajukan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Tekanan ini datang di tengah krisis kemanusiaan yang semakin memburuk dan desakan global untuk mengakhiri kekerasan.
The Pressure Cooker: Mesir dan Sekutu Bergerak
Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, secara terbuka menyatakan bahwa pemerintahnya bekerja sama erat dengan Qatar dan Turki. Tujuan mereka jelas: meyakinkan Hamas untuk menyetujui rencana perdamaian yang diusulkan Trump. Langkah ini menunjukkan tingkat urgensi yang tinggi dari negara-negara regional untuk meredakan ketegangan di Jalur Gaza.
Abdelatty menegaskan bahwa Hamas harus melucuti senjatanya. Menurutnya, hal ini akan menghilangkan alasan bagi Israel untuk terus melancarkan serangan brutal di Gaza. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah forum di French of International Relations di Paris, Kamis (2/10), dan segera menarik perhatian dunia.
"Jangan biarkan satu pihak pun menggunakan Hamas sebagai dalih atas pembunuhan warga sipil yang gila-gilaan ini," kata Abdelatty. Ia menambahkan bahwa apa yang terjadi di Gaza saat ini jauh melampaui insiden 7 Oktober, yang menjadi pemicu agresi Israel. Pernyataan ini menggarisbawahi keprihatinan mendalam Mesir terhadap skala kehancuran dan korban jiwa.
Poin-Poin Krusial dalam Proposal Trump
Proposal perdamaian yang diajukan Donald Trump untuk Jalur Gaza disebut-sebut terdiri dari 20 poin komprehensif. Ini mencakup penghentian serangan secara total, pemulangan semua sandera yang ditahan Hamas, serta penarikan penuh pasukan Israel dari wilayah kantong tersebut. Rencana ini juga mengusulkan pembentukan pemerintahan transisi di Gaza.
Lebih lanjut, proposal tersebut menekankan pemberian bantuan kemanusiaan secara besar-besaran untuk Gaza yang hancur. Ini juga termasuk rencana ambisius untuk pembangunan kembali wilayah kantong tersebut dari puing-puing perang. Namun, poin yang paling sensitif adalah pelucutan senjata dan amnesti bagi anggota Hamas, yang menjadi inti perdebatan.
Kontroversi dan Kritik dari Para Pakar
Meskipun terdengar seperti solusi komprehensif, proposal Trump tidak luput dari kritik tajam. Banyak pakar dan analis menilai bahwa usulan ini cenderung lebih menguntungkan Israel dan secara signifikan meminggirkan kepentingan warga Palestina. Mereka berpendapat bahwa proposal tersebut gagal memprioritaskan korban genosida dan pembersihan etnis yang sedang berlangsung.
Para kritikus menyoroti bahwa pelucutan senjata Hamas tanpa jaminan keamanan jangka panjang bagi Palestina bisa menjadi bumerang. Mereka juga mempertanyakan keadilan dari amnesti bagi Hamas di satu sisi, sementara penderitaan warga Palestina akibat agresi Israel belum sepenuhnya diakui dan ditangani. Ini menciptakan ketidakseimbangan yang mengkhawatirkan dalam kerangka perdamaian.
Dilema Hamas: Antara Tuntutan dan Kepentingan Rakyat
Di tengah tekanan diplomatik yang intens, Hamas menyatakan bahwa mereka masih memerlukan waktu untuk meninjau proposal tersebut secara cermat. Anggota biro politik Hamas, Mahommed Nazzal, mengonfirmasi bahwa kelompoknya masih merundingkan usulan Trump. Ini menunjukkan kompleksitas internal dalam pengambilan keputusan Hamas.
Nazzal menegaskan bahwa Hamas berhak menyampaikan pandangannya "dengan cara yang sesuai dengan kepentingan rakyat Palestina." Ia juga menambahkan, "Kami tidak berurusan (dengan rencana ini), dengan logika bahwa waktu adalah pedang yang diarahkan ke leher kami." Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Hamas tidak akan terburu-buru dan akan mempertimbangkan setiap aspek dengan hati-hati.
Bagi Hamas, menerima proposal yang mencakup pelucutan senjata berarti menyerahkan salah satu sumber kekuatan dan negosiasi utama mereka. Ini adalah keputusan strategis yang sangat besar, yang akan berdampak pada masa depan gerakan mereka dan juga nasib jutaan warga Palestina yang mereka klaim wakili. Pertimbangan ini jauh lebih dalam daripada sekadar setuju atau menolak.
Suara Mesir: Mengapa Gencatan Senjata Harus Terjadi?
Pernyataan Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty mencerminkan keputusasaan regional terhadap situasi di Gaza. Ia secara tegas menyebut agresi Israel sebagai "pembersihan etnis dan genosida." Ini adalah tuduhan serius yang menunjukkan tingkat kemarahan dan kekhawatiran Mesir.
"Ini bukan balas dendam. Ini bentuk pembersihan etnis dan genosida. Jadi, cukup, sudah cukup," ungkap Abdelatty. Pernyataan ini merujuk pada serangan dadakan Hamas pada 7 Oktober yang diklaim Israel menewaskan 1.200 orang, dan agresi balasan Israel yang menewaskan lebih dari 66.000 warga Palestina. Angka korban jiwa yang fantastis ini, ditambah dengan hancurnya ratusan ribu fasilitas sipil, menjadi alasan utama Mesir mendesak gencatan senjata.
Mesir, sebagai tetangga terdekat Gaza dan pemain kunci dalam diplomasi regional, memiliki kepentingan besar dalam stabilitas. Eskalasi konflik tidak hanya mengancam keamanan perbatasannya tetapi juga memicu gelombang pengungsi dan ketidakstabilan yang lebih luas. Oleh karena itu, Mesir melihat gencatan senjata sebagai langkah awal yang krusial untuk mencegah bencana yang lebih besar.
Masa Depan Gaza: Antara Harapan dan Ketidakpastian
Situasi di Gaza saat ini adalah titik didih dari konflik yang telah berlangsung puluhan tahun. Proposal Trump, meskipun kontroversial, menawarkan secercah harapan di tengah kehancuran. Namun, penerimaannya bergantung pada kemauan politik semua pihak, terutama Hamas dan Israel.
Jika Hamas akhirnya menerima proposal ini, langkah selanjutnya adalah implementasi yang adil dan transparan. Ini akan menjadi tantangan besar, mengingat sejarah panjang ketidakpercayaan dan konflik. Namun, jika proposal ini ditolak, prospek perdamaian akan semakin suram, dan penderitaan warga Gaza kemungkinan akan terus berlanjut tanpa batas waktu yang jelas.
Dunia menanti keputusan Hamas dengan napas tertahan. Nasib jutaan warga Palestina di Gaza, yang telah hidup dalam bayang-bayang perang dan blokade, kini bergantung pada pilihan yang akan diambil oleh kelompok tersebut. Apakah ini akan menjadi awal dari babak baru yang lebih damai, atau hanya akan menambah daftar panjang kegagalan diplomatik di wilayah yang bergejolak ini? Hanya waktu yang akan menjawab.


















