Kontroversi seputar kualifikasi pendidikan Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, kembali memanas dan menjadi perbincangan hangat di berbagai platform. Sebagai salah satu figur publik paling disorot, latar belakang akademisnya tak henti-hentinya menuai spekulasi dan pertanyaan dari masyarakat. Kini, sebuah titik terang akhirnya muncul.
Management Development Institute of Singapore (MDIS), institusi pendidikan tempat Gibran menempuh studi, akhirnya angkat bicara. Mereka merilis pernyataan resmi yang diharapkan dapat menjawab berbagai keraguan dan spekulasi yang beredar luas di media sosial maupun ranah publik.
Klarifikasi Resmi dari MDIS Singapura
Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Rabu, 1 Oktober 2025, MDIS secara gamblang membenarkan bahwa Gibran Rakabuming Raka memang pernah menjadi bagian dari komunitas akademis mereka. Klarifikasi ini seolah menjadi jawaban atas desas-desus yang selama ini bergulir, memberikan validasi langsung dari sumbernya.
"Bapak Gibran Rakabuming Raka adalah mahasiswa penuh waktu di Management Development Institute of Singapore (MDIS) dari tahun 2007 hingga 2010," demikian bunyi pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh MDIS. Informasi ini menegaskan periode studi Gibran di lembaga tersebut.
Lebih lanjut, MDIS juga menjelaskan secara rinci jenjang pendidikan yang berhasil diselesaikan oleh Gibran selama periode tersebut. Ia tidak hanya menempuh satu program, melainkan dua tahapan penting yang mengantarkannya pada gelar sarjana.
"Selama periode ini, beliau menyelesaikan Diploma Lanjutan, dilanjutkan dengan gelar Sarjana Sains (Honours) di bidang Pemasaran yang diberikan mitra universitas kami saat itu, University of Bradford, Inggris," tambah MDIS dalam pernyataannya. Ini berarti Gibran meraih gelar sarjana dari universitas di Inggris melalui program kemitraan dengan MDIS.
Memahami Sistem Pendidikan Swasta di Singapura
Mungkin kamu bertanya-tanya, bagaimana bisa gelar sarjana dari universitas Inggris didapatkan di Singapura? Ini adalah model pendidikan yang umum di negara tersebut. MDIS sendiri merupakan salah satu lembaga profesional nirlaba tertua dan paling dihormati di Singapura.
Institusi pendidikan swasta di Singapura kerap menyelenggarakan program pendidikan tinggi melalui kolaborasi erat dengan mitra universitas dari luar negeri. Model ini memungkinkan mahasiswa untuk mendapatkan gelar internasional tanpa harus pindah ke negara asal universitas tersebut.
Kerja sama semacam ini memastikan bahwa standar akademik yang diterapkan tetap tinggi, sesuai dengan kurikulum dan persyaratan dari universitas mitra. Ini adalah praktik standar yang telah berjalan lama dan diakui secara internasional, memberikan fleksibilitas dan aksesibilitas pendidikan global.
Komitmen MDIS pada Kualitas Pendidikan
MDIS tidak hanya sekadar memberikan klarifikasi, tetapi juga menegaskan komitmennya terhadap kualitas pendidikan. Mereka menyatakan bahwa lembaga tersebut berkomitmen untuk membekali para murid dengan keterampilan mutakhir yang sangat penting dalam lanskap dinamis dunia kerja saat ini.
Mereka juga bangga menawarkan pendidikan tinggi dengan lingkungan yang kondusif, dirancang khusus untuk memastikan mahasiswa siap menghadapi berbagai tantangan dan peluang dalam ekonomi global yang terus berkembang. Lulusan MDIS diharapkan memiliki keahlian yang relevan dan mencerminkan tuntutan dunia profesional.
"Semua diploma dan gelar yang diberikan oleh mitra universitas luar negeri kami yang terhormat mematuhi standar akademik yang ketat. MDIS bangga dalam memberikan pendidikan berkualitas tinggi," tegas MDIS. Pernyataan ini menegaskan integritas dan ketelitian akademis yang menjadi pijakan mereka.
Awal Mula Polemik: Gugatan Ijazah SMA Gibran
Meskipun MDIS telah memberikan klarifikasi, polemik seputar pendidikan Gibran ini sebenarnya berakar dari isu yang lebih mendasar, yaitu terkait ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Sorotan publik memuncak setelah adanya gugatan perdata yang dilayangkan terhadap Gibran.
Gugatan ini diajukan oleh seorang bernama Subhan, yang juga bertindak sebagai kuasa hukum, atas dugaan perbuatan melawan hukum (PMH). Gugatan tersebut didaftarkan secara perdata pada 29 Agustus 2025 ke Pengadilan Jakarta Pusat dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.
Tidak hanya Gibran, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga turut menjadi pihak tergugat dalam perkara ini. Subhan secara eksplisit menyatakan bahwa inti dari gugatan tersebut adalah permasalahan Gibran yang diduga tidak mempunyai ijazah SMA yang diselenggarakan berdasarkan hukum Republik Indonesia.
Implikasi Gugatan dan Sorotan Publik
"Gibran enggak punya ijazah SMA sederajat," kata Subhan saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis. Pernyataan ini sontak menjadi pemicu perdebatan sengit di berbagai kalangan, mengingat pentingnya kualifikasi pendidikan bagi seorang pejabat publik.
Menurut Subhan, objek gugatan tersebut memiliki dampak signifikan terhadap keabsahan jabatan yang kini diemban oleh Gibran sebagai Wakil Presiden. Jika tuduhan ini terbukti benar, implikasinya bisa sangat luas, tidak hanya bagi Gibran secara pribadi tetapi juga bagi stabilitas politik nasional.
Sorotan publik terhadap latar belakang pendidikan pejabat tinggi negara memang selalu menjadi isu sensitif di Indonesia. Masyarakat menuntut transparansi dan integritas dari para pemimpinnya, dan kualifikasi pendidikan seringkali menjadi salah satu tolok ukur kepercayaan.
Menanti Babak Selanjutnya dari Drama Pendidikan Gibran
Klarifikasi dari MDIS Singapura ini memang memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai jenjang pendidikan sarjana Gibran. Namun, hal itu tidak serta merta menghentikan proses hukum yang sedang berjalan terkait dugaan ketiadaan ijazah SMA-nya.
Proses hukum di Pengadilan Jakarta Pusat akan terus bergulir, dan publik masih menanti hasil dari gugatan yang diajukan oleh Subhan. Kasus ini menjadi pengingat betapa krusialnya validitas dan keabsahan dokumen pendidikan bagi setiap individu, terutama mereka yang menduduki posisi strategis di pemerintahan.
Di tengah pusaran informasi dan spekulasi, penting bagi kita untuk terus mengikuti perkembangan kasus ini dengan cermat. Informasi yang akurat dan terverifikasi menjadi kunci untuk memahami duduk perkara secara utuh, menjauhkan diri dari hoaks, dan memastikan keadilan ditegakkan.


















