banner 728x250

Georgia Memanas! Partai Penguasa Menang Pemilu di Tengah Protes Besar-besaran, Demokrasi di Ujung Tanduk?

georgia memanas partai penguasa menang pemilu di tengah protes besar besaran demokrasi di ujung tanduk portal berita terbaru
banner 120x600
banner 468x60

Partai penguasa di Georgia berhasil memenangkan pemilihan umum lokal pada Sabtu (4/10) lalu. Kemenangan ini diraih di tengah gelombang aksi massa yang diikuti puluhan ribu orang, yang turun ke jalan mendesak penyelamatan demokrasi di negara tersebut. Situasi politik di Georgia kini berada di titik didih, dengan masa depan demokrasi yang kian dipertanyakan.

Kemenangan Kontroversial di Tengah Badai Protes

banner 325x300

Kemenangan Partai Georgian Dream (GDP) dalam pemilu lokal ini menjadi sorotan tajam. Pasalnya, hasil tersebut diumumkan saat ribuan demonstran membanjiri jalanan, bahkan mencoba menerobos masuk Istana Kepresidenan Georgia di ibu kota, Tbilisi. Aparat keamanan pun harus mengerahkan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan massa yang marah.

Ini adalah ujian elektoral pertama bagi GDP sejak pemilihan parlemen yang disengketakan setahun lalu. Partai ini telah memegang kendali pemerintahan sejak tahun 2012, namun popularitasnya kini diuji oleh gejolak politik dan ketidakpuasan publik yang meluas.

Partai Penguasa yang Tak Tergoyahkan?

Komisi pemilihan pusat melaporkan bahwa dengan hampir 75 persen TPS telah menghitung suara, GDP berhasil mengamankan mayoritas dewan kota di setiap kotamadya, dengan perolehan lebih dari 80 persen suara. Angka ini menunjukkan dominasi yang kuat, namun kontras dengan suasana di jalanan yang dipenuhi demonstran.

Peta politik di Georgia memang telah kacau balau sejak setahun terakhir. Kondisi ini bahkan mendorong Uni Eropa untuk secara efektif membekukan proses aksesi negara tersebut sebagai kandidat anggota. Pembekuan ini menjadi sinyal serius atas kekhawatiran internasional terhadap kondisi demokrasi di Georgia.

Lautan Manusia di Jalanan Ibu Kota

Meskipun ada ancaman tanggapan keras dari pihak berwenang, puluhan ribu orang tetap membanjiri Alun-alun Kemerdekaan Tbilisi. Mereka mengibarkan bendera Georgia dan Uni Eropa, menggelar aksi yang mereka sebut sebagai ‘majelis nasional’ untuk menyuarakan aspirasi mereka. Para demonstran ini tampak tak gentar menghadapi ancaman aparat.

Aksi massa ini kemudian bergerak menuju istana presiden, mencoba memasuki kompleks tersebut. Namun, upaya mereka dihadang oleh aparat keamanan yang menembakkan gas air mata dan meriam air. Kementerian Dalam Negeri Georgia menyatakan bahwa demonstrasi tersebut "melampaui norma yang ditetapkan oleh hukum."

Mengapa Rakyat Turun ke Jalan?

Proses pemilu di Georgia saat ini menjadi sangat krusial, bukan hanya karena hasilnya, tetapi juga karena latar belakangnya. Selama berbulan-bulan terakhir, negara ini menyaksikan serangkaian penggerebekan media independen, pembatasan terhadap masyarakat sipil, dan pemenjaraan puluhan penentang serta aktivis. Kondisi ini memicu kekhawatiran serius tentang kemunduran demokrasi.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia melaporkan bahwa sekitar 60 orang, termasuk tokoh oposisi utama, jurnalis, dan aktivis, telah dipenjarakan selama setahun terakhir. Amnesty International bahkan menyatakan bahwa pemilu ini "berlangsung di tengah pembalasan politik yang parah terhadap tokoh-tokoh oposisi dan masyarakat sipil." Ini menunjukkan bahwa protes bukan hanya soal hasil pemilu, tetapi juga tentang kebebasan dasar.

Respons Keras Pemerintah dan Ancaman ‘Revolusi’

Perdana Menteri Georgia, Irakli Kobakhidze, dalam sebuah pernyataan tegas, mengatakan bahwa rencana ‘revolusi’ pasti akan gagal. Ia menuduh para penyelenggara aksi massa melakukan ‘radikalisme’ dan mengancam bahwa "banyak orang mungkin akan dipenjara." Pernyataan ini menunjukkan sikap pemerintah yang tidak akan berkompromi dengan demonstrasi.

Ancaman tersebut, alih-alih menciutkan nyali, justru tampaknya semakin membakar semangat para demonstran. Mereka merasa bahwa kebebasan berpendapat dan hak untuk berdemonstrasi sedang terancam, sehingga mereka harus bersuara lebih lantang. Konflik antara pemerintah dan rakyat ini semakin memperkeruh suasana politik di Georgia.

Suara Rakyat yang Tak Gentar

Di tengah lautan massa, eks bintang opera yang kini menjadi aktivis, Paata Burchuladze, berorasi dengan lantang. Ia mendesak "kekuasaan kembali ke tangan rakyat," mencap pemerintah "tidak sah," dan mengumumkan transisi. Seruan ini menunjukkan keinginan kuat untuk perubahan fundamental dalam sistem pemerintahan.

"Siapa pun yang peduli dengan nasib Georgia harus turun ke jalan hari ini," ujar Natela Gvakharia, seorang demonstran berusia 77 tahun, kepada AFP. "Kami di sini untuk melindungi demokrasi kami, yang sedang dihancurkan oleh Impian Georgia." Kata-kata ini mencerminkan keputusasaan dan tekad rakyat untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang mereka yakini.

Masa Depan Demokrasi Georgia di Persimpangan Jalan

Kemenangan partai penguasa di tengah gelombang protes besar-besaran ini menempatkan Georgia di persimpangan jalan. Satu sisi, pemerintah mengklaim legitimasi dari hasil pemilu, sementara di sisi lain, sebagian besar rakyat merasa bahwa demokrasi mereka sedang terancam. Situasi ini menciptakan ketegangan yang bisa berujung pada krisis politik yang lebih dalam.

Dengan Uni Eropa yang telah membekukan proses aksesi dan organisasi hak asasi manusia yang menyuarakan kekhawatiran, tekanan internasional terhadap Georgia kemungkinan akan meningkat. Masa depan negara ini, terutama dalam hal kebebasan sipil dan hak asasi manusia, akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah dan oposisi menangani ketegangan yang sedang berlangsung. Pertanyaannya kini, apakah Georgia akan mampu menemukan jalan keluar dari krisis ini tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan rakyatnya?

banner 325x300