Gaza, nama yang kini identik dengan konflik dan penderitaan, ternyata memiliki sejarah panjang yang jauh melampaui era modern. Sebelum menjadi sorotan dunia akibat kebrutalan Israel, wilayah ini sudah ribuan tahun menjadi saksi bisu perebutan kekuasaan. Siapa sangka, jauh sebelum konflik yang kita kenal sekarang, Gaza pernah menjadi medan pertempuran sengit yang melibatkan kekuatan besar dunia lainnya: Inggris.
Gaza: Jantung Jalur Perdagangan Kuno yang Selalu Diperebutkan
Bukan rahasia lagi jika lokasi adalah segalanya. Gaza, sebidang tanah pesisir di sepanjang pantai Mediterania, adalah contoh sempurna dari pepatah ini. Posisinya yang strategis di jalur perdagangan dan maritim kuno menjadikannya permata yang selalu diincar oleh berbagai kekaisaran.
Sejak ribuan tahun lalu, kota ini tak pernah sepi dari intaian. Mulai dari Firaun Mesir, Babilonia, Filistin, hingga Alexander Agung, semuanya pernah mencoba menaklukkan Gaza. Bahkan, Alexander Agung pernah mengepung dan merebut kota ini dengan brutal, membunuh para pria dan memperbudak wanita serta anak-anaknya.
Perang Dunia I: Saat Inggris Mengincar Palestina dan Gaza
Kisah perebutan Gaza berlanjut hingga abad ke-20, tepatnya saat berkecamuknya Perang Dunia I. Inggris, sebagai salah satu kekuatan sentral, mulai mengarahkan pandangannya ke wilayah Timur Tengah. Mereka memiliki ambisi besar untuk memperluas kekuasaan dan mengamankan jalur strategis.
Palestina, termasuk Gaza, kala itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman atau Turki Usmani. Wilayah ini menjadi target strategis bagi Inggris untuk memperluas pengaruhnya di kawasan yang kaya sumber daya dan penting secara geopolitik.
Dua Kali Gagal: Strategi Jenderal Murray yang Berujung Buntu
Pada tahun 1917, tekanan politik di Inggris begitu besar. Setelah kekalahan di Front Barat pada 1916, mereka butuh kemenangan cepat untuk mengangkat moral dan menunjukkan dominasi. Jenderal Archibald Murray ditugaskan memimpin misi ini, dengan Gaza sebagai target utamanya.
Siapa sangka, dua kali serangan besar yang dilancarkan Murray ke Gaza pada Maret dan April 1917 berakhir dengan kegagalan pahit. Pertahanan Ottoman di Gaza ternyata lebih kuat dari perkiraan, membuat pasukan Inggris harus mundur dengan kerugian besar dan rasa malu.
Pergantian Komando: Jenderal Allenby dan Taktik Mengejutkan
Kegagalan beruntun ini tentu saja tidak bisa ditoleransi. Pada bulan Juni, Jenderal Murray akhirnya digantikan oleh sosok yang lebih ambisius dan strategis: Jenderal Sir Edmund Allenby. Allenby datang dengan semangat baru dan bala bantuan yang signifikan, siap mengubah jalannya pertempuran.
Situasi juga mulai berpihak pada Inggris. Kekuatan Turki Usmani saat itu sedang melemah drastis akibat Pemberontakan Arab yang telah dimulai sejak Juni. Pemberontakan ini menguras sumber daya dan fokus Turki, menciptakan celah yang bisa dimanfaatkan Allenby dengan sangat baik.
Tipuan Cerdas di Gaza, Serangan Mematikan di Beersheba
Allenby tahu ia harus bermain cerdas. Pada Oktober 1917, pasukannya jauh lebih unggul dari Turki, dengan rasio 2:1 untuk infanteri dan bahkan 8:1 untuk kavaleri. Ini adalah salah satu medan perang langka di mana kavaleri masih bisa digunakan secara efektif, memberinya keuntungan besar.
Namun, ia tidak ingin mengulangi kesalahan Murray. Allenby merancang sebuah tipuan brilian. Ia melancarkan serangan dan pemboman rutin di sektor Gaza yang dijaga ketat, seolah-olah Gaza adalah target utamanya.
Padahal, semua itu hanyalah pengalihan perhatian. Serangan utama Allenby justru diarahkan lebih jauh ke timur, menuju Beersheba pada 31 Oktober 1917, di tepi utara Sinai. Taktik ini berhasil mengecoh pasukan Turki yang terkonsentrasi di Gaza, membuat mereka lengah di titik krusial.
Kemenangan Inggris dan Lahirnya Deklarasi Balfour
Strategi cerdik Allenby membuahkan hasil. Beersheba jatuh, dan tak lama kemudian, Gaza pun takluk di tangan Inggris. Ini adalah kemenangan besar yang mengubah peta kekuatan di Timur Tengah, menandai berakhirnya dominasi Ottoman di wilayah tersebut.
Allenby bahkan dengan bangga menyebut kemenangannya ini sebagai ‘kemenangan Perang Salib’ modern, menunjukkan betapa pentingnya peristiwa ini bagi Inggris. Namun, dampak kemenangan ini jauh lebih besar dari sekadar perebutan wilayah.
Tak lama setelah kemenangan itu, sebuah dokumen bersejarah muncul: Deklarasi Balfour. Deklarasi inilah yang kemudian menjadi landasan penting bagi lahirnya negara Israel, mengubah takdir wilayah tersebut selamanya dan memicu konflik yang berlanjut hingga hari ini.
Dari serangan Firaun hingga manuver Inggris, Gaza selalu menjadi titik panas dalam sejarah. Wilayah ini adalah saksi bisu betapa kompleksnya perebutan kekuasaan dan ambisi geopolitik yang tak pernah padam. Kisah 1917 ini hanyalah satu babak dari ribuan tahun perjuangan Gaza, sebuah pengingat bahwa konflik di sana memiliki akar yang sangat dalam dan panjang.


















