Bayangkan seorang penulis legendaris yang karyanya dibaca jutaan orang di seluruh dunia, kini justru jadi "musuh" utama di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Ya, itu adalah Stephen King, maestro horor yang buku-bukunya paling sering dilarang selama tahun ajaran 2024-2025. Fenomena ini bukan sekadar insiden kecil, melainkan cerminan dari gelombang sensor buku yang melanda AS.
Lembaga nirlaba PEN America, yang berfokus pada pembelaan kebebasan berekspresi, mencatat data yang mengejutkan. Buku-buku karya Stephen King disensor sebanyak 206 kali, menjadikannya penulis dengan karya paling banyak dilarang. Dari 87 bukunya yang terdampak, novel ikonik seperti ‘Carrie’ (1974) dan ‘The Stand’ (1978) masuk dalam daftar hitam tersebut.
Siapa Stephen King dan Mengapa Bukunya Dilarang?
Stephen King, yang dijuluki "Raja Horor," telah menghasilkan puluhan novel yang membentuk genre horor modern. Karyanya yang mendalam seringkali menjelajahi sisi gelap psikologi manusia, trauma, dan kritik sosial yang tajam. ‘It’, ‘The Shining’, hingga ‘Misery’ adalah beberapa contoh karyanya yang telah diadaptasi menjadi film dan serial sukses.
Namun, di balik popularitas dan pengakuan kritikus, karya-karya King seringkali dianggap terlalu "gelap" atau "eksplisit" untuk lingkungan sekolah. Tema-tema seperti kekerasan, perilaku seksual, dan isu-isu moral yang kompleks dalam novel-novelnya menjadi alasan utama pelarangan. Ini memicu perdebatan sengit tentang batasan materi yang pantas untuk dibaca siswa.
Fenomena Pelarangan Buku yang Meluas di AS
Pelarangan buku di sekolah-sekolah AS bukanlah fenomena baru, namun laporan terbaru dari PEN America menunjukkan skala yang mengkhawatirkan. Selain Stephen King, penulis populer lainnya seperti Ellen Hopkins, Sarah J. Maas, Jodi Picoult, dan Yusei Matsui juga menghadapi nasib serupa. Buku-buku mereka seringkali dilarang karena dianggap mengandung konten sensitif.
Secara keseluruhan, PEN America mencatat 6.870 kasus pelarangan buku sepanjang tahun ajaran 2024-2025. Kasus-kasus ini tersebar di 23 negara bagian dan 87 distrik sekolah negeri di seluruh Amerika Serikat. Angka ini, meskipun sedikit menurun dari lebih dari 10.000 kasus pada tahun ajaran sebelumnya, tetap jauh lebih tinggi dibandingkan beberapa tahun silam.
Ini mengindikasikan adanya tren normalisasi sensor yang meresahkan di lingkungan pendidikan. Sejak Juli 2021, PEN America telah mendokumentasikan hampir 23.000 kasus pelarangan buku di 45 negara bagian dan 451 distrik sekolah negeri. Data ini menyoroti bagaimana isu kebebasan berekspresi dan akses informasi bagi siswa sedang berada di titik krusial.
Negara Bagian ‘Garis Depan’ Sensor Buku
Konsentrasi pelarangan buku paling tinggi terlihat di tiga negara bagian yang menjadi "garis depan" perdebatan ini. Florida memimpin dengan 2.304 kasus, diikuti oleh Texas dengan 1.781 kasus, dan Tennessee dengan 1.622 kasus pelarangan. Ketiga negara bagian ini telah memberlakukan undang-undang ketat yang memungkinkan penghapusan buku-buku yang dianggap "tidak pantas."
Seringkali, alasan di balik pelarangan ini adalah konten yang berkaitan dengan perilaku seksual, identitas gender, atau isu rasial yang dianggap kontroversial oleh kelompok tertentu. Ini mencerminkan pergeseran kebijakan pendidikan yang lebih konservatif di wilayah tersebut, didorong oleh tekanan dari orang tua dan kelompok advokasi. Undang-undang ini memberikan wewenang yang luas kepada distrik sekolah untuk menentukan materi yang "sesuai."
Menariknya, di sisi lain spektrum, negara bagian seperti Maine, New York, dan California tidak mengidentifikasi adanya kasus pelarangan buku yang signifikan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan filosofi yang mencolok dalam pendekatan terhadap kebebasan akademik dan kurikulum sekolah. Perbedaan ini menciptakan lanskap pendidikan yang sangat bervariasi di seluruh AS.
Dampak Pelarangan Buku: Lebih dari Sekadar Halaman yang Hilang
Kasey Meehan, direktur program Freedom to Read PEN America, menegaskan bahwa tekanan sensor ini telah meluas dan meningkat, mengambil berbagai bentuk. "Tekanan sensor telah meluas dan meningkat, mengambil berbagai bentuk—undang-undang, arahan, panduan yang menimbulkan kebingungan," ujarnya dalam siaran pers. Ini bukan hanya tentang satu atau dua buku, melainkan sebuah sistem yang kompleks.
Dampaknya jauh melampaui sekadar buku yang hilang dari rak perpustakaan sekolah. Pelarangan ini membatasi akses siswa terhadap beragam perspektif, menghambat pengembangan pemikiran kritis, dan berpotensi menciptakan lingkungan belajar yang kurang inklusif. Siswa mungkin kehilangan kesempatan untuk menjelajahi ide-ide baru atau memahami pengalaman yang berbeda dari mereka.
Lebih lanjut, pelarangan buku mengirimkan pesan bahwa beberapa ide atau pengalaman dianggap terlalu berbahaya atau tabu untuk dibahas di sekolah. Padahal, justru eksplorasi terhadap topik-topik kompleks inilah yang dibutuhkan siswa untuk memahami dunia yang semakin rumit. Ini juga dapat memicu fenomena "self-censorship" di kalangan guru dan pustakawan yang takut akan konsekuensi.
Reaksi Stephen King dan Suara Kebebasan Berekspresi
Stephen King sendiri tidak tinggal diam menghadapi gelombang sensor ini. Ia dikenal vokal dalam mengecam pelarangan buku, melihatnya sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan literasi. King berpendapat bahwa anak-anak harus memiliki akses ke berbagai jenis buku untuk mengembangkan pemikiran mereka sendiri.
Baru-baru ini, ia bahkan mengunggah di media sosial tentang statusnya sebagai "penulis yang paling banyak dilarang" di AS. Dengan gaya khasnya yang lugas, King menyarankan para pembaca untuk "membaca buku-bukunya dan melihat apa yang diributkan." Ini adalah seruan langsung untuk melawan sensor dengan cara yang paling efektif: dengan membaca dan berpikir secara mandiri.
PEN America, sebagai lembaga yang membela kebebasan berekspresi, terus menyuarakan keprihatinannya. Mereka berargumen bahwa akses terhadap beragam buku adalah hak fundamental bagi siswa untuk mengembangkan pemahaman yang komprehensif tentang dunia. "Pelarangan dan normalisasi sensor yang meresahkan telah memburuk dan menyebar selama empat tahun terakhir. Hasilnya belum pernah terjadi sebelumnya," kata Meehan, menyoroti urgensi masalah ini.
Melihat ke Depan: Perdebatan yang Tak Kunjung Usai
Fenomena pelarangan buku di sekolah-sekolah AS ini adalah cerminan dari perdebatan budaya yang lebih luas di Amerika. Ini melibatkan isu-isu tentang hak orang tua dalam mengontrol pendidikan anak, kurikulum sekolah, dan batas-batas kebebasan berekspresi di lingkungan publik. Perdebatan ini seringkali menjadi medan pertempuran dalam "perang budaya" yang lebih besar.
Sementara satu pihak berpendapat bahwa pelarangan ini melindungi anak-anak dari materi yang tidak pantas atau tidak sesuai usia, pihak lain khawatir akan dampak jangka panjang terhadap literasi, pemikiran kritis, dan keragaman perspektif. Mereka berpendapat bahwa sensor justru merugikan siswa dengan membatasi cakrawala pengetahuan mereka.
Perdebatan ini tampaknya akan terus berlanjut, dengan Stephen King dan penulis lainnya menjadi simbol dari pertarungan antara sensor dan kebebasan intelektual. Penting bagi kita untuk terus memantau perkembangan ini, karena apa yang terjadi di sekolah-sekolah AS bisa menjadi indikator tren global dalam isu kebebasan informasi dan pendidikan.


















