Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini menjadi sorotan publik. Pasalnya, mereka harus turun tangan memastikan pasokan base fuel impor yang sudah tiba di Indonesia tidak akan terbuang sia-sia. Situasi ini muncul setelah beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta dikabarkan menolak menyerap bahan bakar dasar tersebut.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk khawatir. Jika SPBU swasta seperti Vivo, BP-AKR, Shell, dan ExxonMobil akhirnya batal membeli base fuel tersebut, maka PT Pertamina (Persero) akan mengambil alih seluruh pasokan. Ini adalah langkah antisipasi untuk menjaga stabilitas pasokan energi nasional.
"Iya pasti, sudah pasti kalau itu. Kalau tidak ada kesepakatan, base fuel itu akan digunakan oleh Pertamina sendiri," ujar Laode di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, pada Jumat (3/10) lalu. Pernyataan ini memberikan jaminan bahwa bahan bakar yang sudah diimpor tidak akan menjadi masalah logistik atau kerugian negara.
Apa Itu Base Fuel dan Kenapa Penting?
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, apa sebenarnya base fuel ini? Base fuel atau bahan bakar dasar adalah komponen utama yang belum dicampur dengan aditif lain untuk menghasilkan jenis bahan bakar jadi seperti Pertamax atau V-Power. Bahan bakar ini diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kemudian akan diolah lebih lanjut oleh berbagai penyedia BBM.
Kehadiran base fuel impor sangat krusial untuk menjaga ketersediaan pasokan BBM di Indonesia. Dengan kebutuhan energi yang terus meningkat, impor menjadi salah satu solusi untuk menutupi kekurangan produksi dalam negeri. Oleh karena itu, memastikan base fuel ini terserap dan termanfaatkan adalah prioritas utama pemerintah.
Drama Kandungan Etanol: Biang Kerok Pembatalan
Masalah utama yang memicu polemik ini adalah perbedaan pandangan terkait kandungan etanol dalam base fuel impor. Laode Sulaeman menjelaskan bahwa kargo impor tahap kedua, yang tiba pada 2 Oktober dengan volume sekitar 100 ribu barel (sama seperti pengiriman pertama), menjadi objek perdebatan. Keputusan akhir apakah SPBU swasta akan membeli baru bisa dipastikan setelah rapat mediasi dengan pemerintah.
Rapat mediasi yang dijadwalkan sore hari pukul 15.30 di Kantor Ditjen Migas menjadi momen krusial. Perbedaan pandangan terkait kandungan etanol menjadi ganjalan utama yang membuat kesepakatan antara Pertamina dan SPBU swasta mandek. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan juga menyangkut persepsi dan standar yang dipegang masing-masing pihak.
Beda Pandangan Pemerintah dan SPBU Swasta
Pemerintah, melalui ESDM, memiliki pandangan yang berbeda dengan SPBU swasta mengenai kandungan etanol ini. Laode menjelaskan bahwa regulasi pemerintah lebih fokus pada kadar Research Octane Number (RON), bukan persentase etanol secara spesifik. Selama tambahan etanol masih dalam range kecil dan tidak melewati spesifikasi yang ditetapkan, itu dianggap tidak masalah.
"Kalau ada tambahan yang masih dalam range kecil itu tidak melewati speknya. Masih dalam range yang diinginkan," ujarnya. Ini menunjukkan bahwa pemerintah menganggap kadar etanol yang ditemukan masih dalam batas toleransi dan tidak akan memengaruhi kualitas atau performa bahan bakar secara signifikan.
Etanol dalam BBM: Aman atau Berbahaya?
Laode bahkan mencontohkan praktik internasional yang sudah lazim menggunakan etanol dalam bensin. Menurutnya, etanol tidak mengganggu performa, bahkan bisa memberikan dampak positif. Negara-negara dengan industri hulu etanol yang besar, seperti Brasil, sudah menggunakan campuran etanol hingga di atas 20 persen dalam bahan bakar mereka.
"Etanol itu di internasional sudah banyak yang pakai sebenarnya. Jadi tidak mengganggu performa, bahkan bagus dengan menggunakan etanol itu. Negara-negara yang punya industri hulunya etanol besar, kayak Brasil, mereka (kadar) E-nya itu sudah di atas 20-an persen. Jadi enggak ada masalah sih sebenarnya," tuturnya. Ini mengindikasikan bahwa penggunaan etanol dalam batas tertentu adalah praktik standar global.
Namun, meskipun pemerintah berargumen bahwa etanol aman dan lazim digunakan, jalan tengah dengan Badan Usaha (BU) swasta masih belum tercapai. "Masalah kesepakatan. Yang satunya megang bahwa harus tidak ada etanolnya, yang satunya ada sedikit kok, hanya untuk bikin BBM-nya itu penguat," ujar Laode, menggambarkan tarik ulur negosiasi.
SPBU swasta seperti Vivo dan BP-AKR dilaporkan membatalkan pembelian base fuel impor dari Pertamina setelah uji laboratorium menunjukkan kandungan etanol sekitar 3,5 persen. Padahal, regulasi ESDM sendiri memperbolehkan kandungan etanol hingga di bawah 20 persen. Perbedaan standar ini menjadi inti dari kebuntuan.
Pembatalan ini membuat negosiasi kembali ke titik awal. Padahal, sebelumnya pemerintah telah memfasilitasi kesepakatan Business to Business (B2B) antara Pertamina dan BU swasta untuk menjaga pasokan BBM. Situasi ini menunjukkan kompleksitas dalam harmonisasi standar dan kepentingan antara regulator, BUMN, dan swasta dalam industri energi.
Pertamina Siap Ambil Alih: Jaminan Pasokan Tetap Aman
Keputusan Pertamina untuk mengambil alih base fuel yang ditolak SPBU swasta adalah langkah strategis. Ini tidak hanya mencegah kerugian finansial akibat base fuel yang tidak terserap, tetapi juga menjamin ketersediaan pasokan BBM di seluruh Indonesia. Sebagai BUMN, Pertamina memiliki kapasitas dan infrastruktur untuk mengelola volume base fuel yang besar ini.
Langkah ini juga menunjukkan komitmen pemerintah dan Pertamina untuk menjaga stabilitas energi nasional. Dalam kondisi pasar yang dinamis dan geopolitik yang tidak menentu, kepastian pasokan BBM adalah hal yang mutlak. Konsumen tidak perlu khawatir akan kelangkaan bahan bakar akibat polemik ini.
Implikasi Lebih Luas bagi Industri BBM Nasional
Polemik base fuel beretanol ini membuka diskusi lebih luas tentang masa depan kebijakan energi di Indonesia. Apakah standar etanol akan direvisi? Bagaimana harmonisasi antara regulasi pemerintah dan preferensi pasar dapat dicapai? Ini adalah pertanyaan penting yang harus dijawab untuk menciptakan iklim investasi dan pasokan energi yang lebih stabil.
Kejadian ini juga menjadi pengingat akan pentingnya komunikasi dan koordinasi yang efektif antara semua pemangku kepentingan dalam industri energi. Dengan adanya mediasi dan dialog yang berkelanjutan, diharapkan solusi terbaik dapat ditemukan, tidak hanya untuk masalah base fuel ini, tetapi juga untuk tantangan energi di masa depan. Pada akhirnya, tujuan utama adalah memastikan pasokan energi yang berkelanjutan, terjangkau, dan berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia.


















